Jumat, 24 Januari 2014

Upacara Seren Taun dan kaitannya dalam Islam



Upacara Seren Taun dan kaitannya dalam kesenian Islam
Disusun Oleh Muhammad Allan Asobar
Prodi Akhlak dan Tasawuf
Sekolah Tinggi Sunan Pandan Aran Yogyakarta

Pendahuluan.
Dalam budaya Sunda perayaan tahun baru dikenal dengan seren taun. Berdasarkan makna katanya, seren taun berarti serah terima tahun yang telah lewat kepada tahun yang akan datang atau disebut juga pergantian tahun. Perayaan seren taun merupakan upacara yang sangat luhung dengan nilai-nilai dan falsafah hidup. Di dalamnya terdapat beberapa prosesi spiritual yang mengandung nilai-nilai religius yaitu upaya pendekatan diri kepada Tuhan sekaligus kepada alam melalui pertunjukan seni kolosal yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda yang kental dengan budaya pertanian atau agraris, seren taun merupakan wahana pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Bersyukur atas hasil pertanian yang telah diperoleh pada tahun-tahun yang telah lewat dan berdoa agar mendapatkan hasil panen yang lebih baik pada tahun-tahun yang akan datang.[1]

Sejarah
Seren taun itu sendiri dilaksanakan setiap tanggal 22 Bulan Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender sunda. Selain ritual-ritual yang bersifat sakral, digelar juga kesenian dan hiburan. Dengan kata lain kegiatan ini merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan, dan juga dengan sesama mahluk atau alam baik lewat kegiatan kesenian, pendidikan, dan sosial budaya. Dan untuk sampai sekarng ini penulis baru bisa menyimpulkan banwa upacara ini sendiri masih sampai ada di daerah sunda tepatnya di daerah cigugur, Jawa Barat.[2]
Upacara Seren Taun diawali dengan upacara ngajayak ( Menjemput Padi ), pada tanggal 18 Rayagung yang dilanjutkan dengan upacara penumbukan padi dan sebagai puncak acaranya pada tanggal 22 Rayagung. Ngajayak dalam bahasa sunda berarti menerima dan menyambut, sedangkan bilangan 18 yang dalam bahasa sunda diucapkan “dalapan welas” berkonotasi welas asih yang artinya cinta kasih serta kemurahan Tuhan yang telah menganugerahkan segala kehidupan bagi umat-Nya di segenap penjuru bumi.
Puncak acara Seren Taun berupa penumbukan padi pada tanggal 22 Rayagung juga memiliki makna tersendiri. Bilangan 22 dimaknai sebagai rangkaian bilangan 20 dan 2. Padi yang ditumbuk pada puncak acara sebanyak 22 kwintal dengan pembagian 20 kwintal untuk ditumbuk dan dibagikan kembali kepada masyarakat dan 2 kwintal digunakan sebagai benih. Bilangan 20 merefleksikan unsur anatomi tubuh manusia.
Bila ditelusuri dalam sejarah, seren taun telah berkembang sejak jaman Pajajaran. Pada saat itu pelaksanaannya dilakukan secara serentak di seluruh wilayah kerajaan mulai dari Pakuan sampai daerah kapuunan dan kakolotan. Perayaan seren taun berdasarkan waktunya terbagi menjadi dua bentuk: pertama, perayaan yang sifatnya tahunan atau disebut juga upacara seren taun guru bumi. Perayaan ini dilaksanakan di Pakuan dan juga di seluruh wilayah kerajaan. Dan kedua, perayaan yang sifatnya sewindu (delapan tahun) sekali yang dikenal dengan upacara seren taun tutug galur atau biasa disebut upacara kuwera bakhti yang perayaannya dilakukan di Pakuan saja.
Bentuk perayaan kedua upacara tersebut sama saja, yang membedakan hanya pada kelengkapan upacara, batas waktu dan tempat pelaksanaannya. Seren taun guru bumi dilaksanakan selama 4 hari sebelum bulan purnama dan berakhir pada hari malam bulan purnama tanggal satu bulan Mangsa Guru atau bulan pertama kalender Pajajaran (awal tahun). Sedangkan seren taun tutug galur dilaksanakan selama sepuluh hari yaitu dari sepuluh hari terakhir bulan mangsa bakti (bulan terakhir kalender Pajajaran) dan puncaknya sama seperti seren taun guru bumi yaitu pada malam bulan purnama tanggal satu bulan Mangsa Guru.
Perlu dipahami bahwa dalam penanggalan kalender Pajajaran satu bulan tidak dihitung dari banyaknya hari, tapi dihitung dari mulai bulan purnama sampai bulan purnama berikutnya. Sistem penanggalan ini sama seperti perhitungan kalender lunar atau sistem qamariyah (bulan) dalam Islam. Hanya yang membedakannya adalah dalam penghitungan awal bulan.[3]
Selanjutnya dalam perjalanan sejarah upacara seren taun ini mendapatkan banyak pengaruh termasuk dari agama Islam. Saat ini tinggal seren taun guru bumi yang masih diadakan yaitu mulai dari tangal 18 Rayagung (Dzulhijjah) sampai puncaknya tanggal 22 Rayagung. Pelaksanaannya pun sekarang tidak lagi di seluruh daerah tatar Sunda namun hanya di kampung-kampung adat saja, seperti di Cigugur Kuningan, Cisungsang Lebak, Sirna Resmi Cisolok Sukabumi, dan Sindang Barang Bogor. Di luar daerah tersebut sudah tidak ada.
Penyebab seren taun hanya tersisa di kampung adat adalah berkaitan dengan ketersediaan perangkat upacara. Di kampung-kampung adat perangkat upacara seperti leuit, lisung dan alat-alat musik tradisional masih tersedia dan terpelihara dengan baik. Sedangkan di kampung-kampung biasa yang bukan kampung adat perangkat upacara tersebut sudah hilang diganti dengan peralatan modern.

Makna dan Hakekat
Pada hakekatnya kegiatan seren taun mempunyai sejarah yang panjang, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman dahulu kala, tapi tidak diketahui siapa yang memulai dan menciptakannya. Sejarah manusia mempunyai catatan yang panjang khusunsnya dalam cara manusia untuk berbudaya dan bertahan hidup. Secara etimologi budaya berasal dari kata budi dan daya, budaya terbagi menjadi dua yaitu budaya spiritual dan budaya teknologi. Budaya yang spiritual.
Pada awal manusia hidup diatas pohon untuk bertahan hidup dari binatang buas setelah itu manusia hidup berpindah pindah (nomaden). Dari zaman Megalitikum, Neolitikum, Paleolitikum pada dasarnya manusia ituh hidup di dunia itu sama , dimasing masing belahan dunia pasti mengalami zaman atau masa yang sama. Sampai pada akhirnya manusia menemukan benda benda yang dapat menunjang kehidupannya. Manusia pada zaman itu minum air dengan menggunakan kedua telapak tangan yang ditekukkan, dan pada akhirnya manusia menemukan benda untuk menampung air dengan bentuk yang sama dengan lekukan telapak tangan , contoh kecil itu saja dapat kita simpulkan bahwa dalam menjalankan kehidupan manusia , manusia selalu berbudaya, alat penemuan itu merupakan hasil budaya.
Proses terjadinya kegiatan seren taun sudah terjadi dari zaman dahulu. Seren taun yang sekarang, merupakan seren taun yang masih dipertahankan keasliannya. Acara ini dilaksanakan di Cagar Budaya Nasional. Seren taun dilaksanakan untuk mengungkapkan rasa syukur masyarakat Cigugur selaku masyarakat agraris kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
            Menerima segala bentuk kenikmatan dan keberkahan, dan berharap agar hasil panen tahun depan lebih banyak.
Sebelum acara dimulai biasanya dibuka dengan acara doa bersama yang dipinpin oleh tokoh agama yang ada di Cigugur ditambah kaum adat setempat. Ujud nyata prosesi upacara seren taun yaitu berupa upacara dan pertunjukan kesenian tradisional, diantaranya pesta dadung, ronggeng gunung, seni klasik tarawangsa, gending karesmen, tari badaya, upacara adapt ngareremokeun dari Kanekes Baduy, seni monggang klasik, goong renteng, tari buyung, buncis, dogdog lonjor, reog, dan kecapi suling.
Pesta dadung biasanya ditampilkan setiap tanggal 18 Rayagung, kegiatan ini merupakan kegiatan sacral masyarakat Sunda di Cigugur. Pesta dadung dilaksanakan di depan gedung gedung Paseban Tri Panca tunggal, upacara ini dimulai dengan menunjukan rasa gembira para anak gembala dan bapak-bapak tani yang menari sambil menggunakan dadung atau tambang yang terbuat dari injuk untuk mengikat kerbau atau sapi.
Upacara ini diakhiri dengan melepas hama. Upacara pesta dadung mengandung makna untuk melestarikan dan menjaga keseimbangan alam agar hama tidak mengganggu kehidupan manusia. Disamping menjaga alam, didalam prosesi pesta dadung ini terjadi proses pelestarian alam dengan cara penanaman bibit tanaman. Kegiatan ini dilakukan bersamaan antara masyarakat dengan pihak pemerintah.[4]
Yang selanjutnya adalah ronggeng gunung yang biasanya ditampilkan pada tanggal 19 Rayagung, ronggeng gunung merupakan kesenian yang masih dilestarikan di Kabupaten Ciamis. Ronggeng gunung menceritakan tentang seorang gadis yang bernama Dewi Samboja. Gadis tersebut dijadikan istri oleh Raden Anggalarang, putra Prabu Haurkuning dari kerajaan Galuh. Selanjutnya pasangan tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung Pangandaran, yang pada waktu itu sering didatangi oleh sekelompok penyamun.
Pada waktu itu kerajaan diserang dan menewaskan Radeb Anggalarang, selanjutnya Dewi Semboja diselamatkan penduduk. Menurut wangsit yang diterimanya, Beliau harus mengganti namanya menjadi Dewi Rengganis, dan Beliau menyamar menjadi seorang penari ronggeng, serta hidup berkelana dari satu tempat ke tempat yang lainya, dan pada proses ini dikenalkan pula proses penanaman padi pertama kali.
Selankutnya adalah seni tarawangsa, kegiatan ini dipagelarkan pada tanggal 20 Rayagung. Seni tarawangsa ini merupakan kesatuan alat kecapi yang memiliki 2 kawat saja yang biasanya dikolaborasikan dengan kecapi tulen yang memiliki 7 kawat dan biasanya disertai dengan tarian para mojang.
Tari buyung yang merupakan pusat acara seren taun ini, menceritakan sekumpulan para mojang yang hendak mandi di pancuran dengan menggunakan alat buyung. Buyung merupakan tempat air semaca, kendi besar yang dipakai menampung air dan cara membawanya dengan cara ditaruh di atas kepala.
Tari buyung ini bias anya membentuk formasi jala sutra, nyakra bumi, bale bandung, medang kamulan, dan nugu telu. Dalam acara tersebut memberikan kita gambaran bahwa masyarakat pertanian Sunda, merupakan masyarakat religius.
Di dalam puncak acara, biasanya ditampilkan pula atraksi kesenian tradisional asli dari masyarakat adat yang ada di daerah Jawa Barat dan Banten. Contohnya saja angklung baduy, dagdog lonjor, dan buncis yang dipagelarkan langsung oleh masyarakat adat dari Kanekes Banten. Kesenian tradisional Banten biasanya ditampilkan sesudah tari buyung, kesenian-kesenian dari Banten ini digunakan untuk mengiringi rombongan pembawa hasil panen, berupa padi, buah-buahan, dan benih padi untuk satu tahun kedepan.
Sedangkan goong renteng termasuk gamelan dari Kuningan, biasanya dimainkan selama puncak prosesi upacara seren taun pada tanggal 22 Rayagung. Bersamaan dengan goong renteng dimainkan, empat kelompok barisan yang membawa hasil pertanian dating dari empat penjuru angina menuju gedung Paseban Tru Panca Tunggal, yang dibarenggi dengan pertunjukan kesenian tradisional seperti tari buyung, angklung, dogdog lonjor, buncis dan reog.
Masing-masing barisan didampingi dengan orang yang membawa padi dan buah-buahan, paying janur yang disusun tiga tingkat, para mojang yang membawa bibit padi, para jajaka yang membawa paying janur dan tempat benih dan dibelakang itu terdapat barisan ibu-ibu yang membawa tumpeng di atas kepala mereka.

Ritual Upacara
            Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa desa adat upacara biasanya diawali dengan mengambil air suci dari beberapa sumber air yang dikeramatkan. Biasanya air yang diambil berasal dari tujuh mata air yang kemudian disatukan dalam satu wadah dan didoakan dan dianggap bertuah dan membawa berkah. Air ini dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa berkah.
Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir berebut mengambil kue di dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya kue itu memberi berkah yang berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian ritual penyembelihan kerbau yang dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mampu dan makan tumpeng bersama, Malamnya diisi dengan pertunjukan wayang golek.[5]
            Puncak acara seren taun biasanya dibuka sejak pukul 08.00, diawali prosesi ngajayak (menyambut atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran kolosal, yakni tari buyung, angklung baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang hidup di Cigugur.
Rangkaian acara bermakna syukur kepada Tuhan itu dikukuhkan pula melalui pembacaan doa yang disampaikan secara bergantian oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia. Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari Ngajayak, yaitu penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat untuk kemudian ditumbuk bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun akhirnya terlibat dalam kegiatan ini, mengikuti jejak para pemimpin, tokoh masyarakat, maupun rohaniwan yang terlebih dahulu dipersilakan menumbuk padi. Puluhan orang lainnya berebut gabah dari saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci Sanghyang Asri).
Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai keramaian dan pertunjukan kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai berlangsung sejak tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak silat, nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.
            Tari buyung yang merupakan pusat acara seren taun ini, menceritakan sekumpulan para mojang yang hendak mandi di pancuran dengan menggunakan alat buyung. Buyung merupakan tempat air semaca, kendi besar yang dipakai menampung air dan cara membawanya dengan cara ditaruh di atas kepala. Tari buyung ini bias anya membentuk formasi jala sutra, nyakra bumi, bale bandung, medang kamulan, dan nugu telu. Dalam acara tersebut  memberikan kita gambaran bahwa masyarakat pertanian Sunda, merupakan masyarakat religius.
Di dalam pucak acara, biasanya ditampilkan pula atraksi kesenian tradisional asli dari masyarakat adat yang ada di daerah Jawa Barat dan Banten. Contohnya saja angklung baduy, dagdog lonjor, dan buncis yang dipagelarkan langsung oleh masyarakat adat dari Kanekes Banten. Kesenian tradisional Banten biasanya ditampilkan sesudah tari buyung, kesenian-kesenian dari Banten ini digunakan untuk mengiringi rombongan pembawa hasil panen, berupa padi, buah-buahan, dan benih padi untuk satu tahun kedepan.
Sedangkan goong renteng termasuk gamelan dari Kuningan, biasanya dimainkan selama puncak prosesi upacara seren taun pada tanggal 22 Rayagung. Bersamaan dengan goong renteng dimainkan, empat kelompok barisan yang membawa hasil pertanian dating dari empat penjuru angina menuju gedung Paseban Tru Panca Tunggal, yang dibarenggi dengan pertunjukan kesenian tradisional seperti tari buyung, angklung, dogdog lonjor, buncis dan reog.
Masing-masing barisan didampingi dengan orang yang membawa padi dan buah-buahan, paying janur yang disusun tiga tingkat, para mojang yang membawa bibit padi, para jajaka yang membawa paying janur dan tempat benih dan dibelakang itu terdapat barisan ibu-ibu yang membawa tumpeng di atas kepala mereka.

Kesimpulan.
Sejarah sebuah daerah sangatlah mempengaruhi akan adanya pola kebiasaan dari daerah tersebut. Seluruh daerah di dunia ini pasti memiliki sejarah yang beraneka ragam, dengan adanya hal itu maka akan menghasilkan kebudayaan dari bentuk ide sampai benda nyata yang berbeda-beda di setiap daerahnya.
Budaya dapat diartikan sebagai sebagai gabungan kata “budi” dan “daya”, budi pekerti yang dimilki oleh manusia dan daya dan upaya manusia dalam membina hidup. Jadi budaya dapat diartikan sebagai suatu Usaha manusia untuk menciptakan sesuatu yang dberguna bagi kehidupannya dengan menggunakan akal pikirannya.
Kebudayaan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Tanpa disadari setiap waktu kita hidup dengan budaya, dengan hasil cipta karya, karsa, dan rasa manusia, dengan barang-barang hasil ciptaan manusia yang tujuannya guna mempermudah hidup manusia itu.
Upacara  tradisional  Seren  Taun  adalah  ungkapan  syukur  dan  do’a masyarakat Sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang yang dilaksanakan setiap  tanggal  22  Bulan  Rayagung  (bulan  terakhir  dalam  perhitungan  kalender Sunda) yang didalamnya  selain  terdapat  ritual-ritual yang bersifat  sakral, digelar juga kesenian dan hiburan. Seperti di Kampung Budaya Sindangbarang, dan juga di kampung adat lainnya, melaksanakan upacara Seren Taun dimaksudkan sebagai ungkapan  rasa  syukur. Melalui  upacara  tradisional  Seren  Taun  ini  masyarakat dapat  ikut  berperan  aktif  sehingga  tercipta  ikatan  sosial  yang  lebih  kokoh.
Sebagaimana  tercermin  dari  pola  kehidupan  masyarakat  Sunda  yang  komunal, silih asah, silih asih, dan silih asuh. Namun demikian, upacara Seren Taun yang dilaksanakan  oleh warga Kampung  Budaya  Sindangbarang  dalam  beberapa  hal dapat  dikatakan  sedikit  berbeda. Pemilihan waktu  pelaksanaan  yaitu  pada  bulan Muharram, mungkin dapat ditemui pada beberapa kampung adat yang lain.
Tetapi penambahan  tersebut  (mengambil  air  dari  7  mata  air,  pengajian,  dan  sunatan massal) adalah cara  lain yang diharapkan dapat  lebih meningkatkan  ikatan sosial dan kepedulian diantara warga Kampung Budaya Sindangbarang. Hubungan  antara  komodifikasi  upacara  tradisional  Seren  Taun  dengan pembentukan  identitas komunitas Kampung Budaya Sindangbarang menunjukan hubungan  yang  signifikan.  Semakin  rendah  proses  komodifikasi  upacara tradisional  Seren  Taun  maka  semakin  kuat  pembentukan  identitas  komunitas Kampung  Budaya  Sindangbarang.  Hal  ini  dapat  dijelaskan  karena  terdapat hubungan  yang  signifikan  pula  antara  komodifikasi  upacara  tradisional  Seren Taun dengan motif dan perilaku melaksanakan upacara tradisional Seren Taun. Diketahui  bahwa  proses  komodifikasi  upacara  tradisional  Seren  Taun Kampung Budaya Sindangbarang cenderung rendah, sehingga motif dan perilaku melaksanakan  upacara  tradisional  Seren  Taun  cenderung  tinggi.  Hal  ini disebabkan     Kampung  Budaya  Sindangbarang  tetap  memandang  upacara
Kuningan merupakan Kabupaten kaya budaya dan di klaim sebagai sumber peradaban pertama di tanah Jawa Barat karena ditemukannya adanya situs budaya prasejarah dari jaman Megalitikum yang terletak di Cipari, walaupun kurang memberikan bukti yang kuat.
Kelurahan Cigugur merupakan salah satu wilayah yang memiliki keunikan tersendiri di kabupaten Kuningan. Masyarakat Cigugur kebanyakan, bermata pencaharian sebagai petani, hal ini didukung dengan keadaan geografis yang mendukung pertanian, dan ternak sapi.
Dan pada akhirnya menimbulkan suatu sistem pola kehidupan masyarakat petani di daerah ini, walaupun jika dipandang dalam sudut pandang agama dan kepercayaan, Cigugur didominasi agama Kristen dan sisanya Muslim seta sebagian kecil agama kepercayaan. Namun  semuanya itu tidak menjadikan sebuah pertentangan, sebaliknya dengan kesamaan pekerjaan dan sikap saling menghormati, pada Seren Taun semuanya turun ke jalan menjadi satu, menggambarkan masyarakat yang rukun dan ideal.[6]







































Daftar Pustaka
Hasan Muhammad (1988). Lansekap Alam dan Budaya. Jakarta. Departemen Pendidikan           dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Koentjaraningrat. (1985). Manusia dan Kebudayaan Indonesia.Jakarta : Jambatan.
Peursen van C.A (1976). Strategi Kebudayaan. Jakarta dan Yogyakarta. BPK Gunung Mulia          dan Yayasan Kanisius.
Redfield Robert (1982). The Little Community, Peasant Society and Culture. Chicago. CV
Rajawali.
Setiadi M Elly, Kolip Usman (2010). Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Prenada Media Group. Bandung.





























Dokumentasi :












[1] Muhammad Hasan , Lansekap Alam dan Budaya. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat 
Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Hal. 54
[2] Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan Indonesia.Jakarta : Jambatan. Hal . 67
[3] . Ibid., Hal.76.

[4] C.A Peursen van. Strategi Kebudayaan. Jakarta dan Yogyakarta. BPK Gunung Mulia dan Yayasan Kanisius. Hal 32.
[5] Robert Redfield . The Little Community, Peasant Society and Culture. Chicago. CV Rajawali. Hal 78.
[6] M Elly Setiadi, Kolip Usman . Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Prenada Media Group. Bandung.

2 komentar: