Kamis, 23 Januari 2014

grebeg gulai kambing tradisi ngalap berkah



GREBEG GULAI KAMBING TRADISI NGALAP BERKAH

Oleh:
Farida Nurus Sofa
12020011
Program Studi Akhlak dan Tasawuf
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pendahuluan
            Sejarah masuknya Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan tradisi/budaya lokal setempat. Hal ini karena agama Islam yang masuk hanya merupakan nilai-nilainya saja, sehingga diperlukan wadah bagi nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini adalah kebudayaan setempat yang sudah mendarah daging dalam masyarakat tersebut.
Masuknya dan berkembangnya Islam di Jawa, memang tidak lepas dari peran para tokoh ulama yang sangat kreatif dan produktif dalam proses penyebarannya. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, agama Islam telah berhasil masuk hingga ke daerah pelosok sekalipun. Tokoh-tokoh penyebaran itu yang sangat terkenal antara lain adalah wali songo. Metode dalam menyebarkan dakwah Islam sangat beragam, misalnya seperti menggunakan jalur perdagangan, jalur perkawinan, jalur pendidikan, jalur tasawuf, jalur kesenian, dan jalur politik.[1] Dalam penyebarannya di jawa (khususnya), jalur yang paling populer digunakan adalah melalui jalur kesenian oleh Sunan Kalijaga.

Sejarah diadakannya Acara Grebeg Gulai Kambing
            Asal usul diadakannya acara grebeg gulai kambing adalah bahwa pada zaman dahulu, di dusun itu (cacaban) terjadi bencana yang dinamakan dengan pageblug. Pageblug adalah bencana yang melanda suatu kelompok masyarakat dimana bencana itu menyebabkan banyak orang yang meninggal dunia.
            Melihat realitas ini, para santri dan ulama yang ada di daerah tersebut tergugah hatinya untuk membantu menyelesaikan masalah pageblug. Kemudian mereka para santri atas dawuh dari Kyai Kodri mengadakan mujahadah di tepi aliran kali Progo. Mereka berharap, dengan diadakannya mujahadah ini bencana pageblug yang melanda segera berhenti. Mereka juga berdo’a agar terhindar dari bencana dan marabahaya.
            Kyai Tuk Songo merupakan nama samaran dari Kyai Abdussalam. Ia juga merupakan salah satu murid dari Pangeran Diponegoro, yang ketika itu ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pelaksanaan Acara Grebeg Gulai Kambing
            Pelaksanaan acara gulai kambing dilaksanakan setiap tahun pada bulan Besar (Dzulhijjah). Yaitu pada setiap hari jum’at pon, atau kalau tidak ada jum’at pon maka diganti dengan hari jum’at kliwon. Acara grebeg gulai kambing ini merupakan tradisi yang dilakukan sebelum dilaksanakannya acara nyadran.
Nyadran adalah tradisi yang diadakan setiap tahun sekali. Biasanya, acara nyadran diadakan menjelang bulan Ramadhan dengan ziarah ke makam-makam leluhur. Kegiatan dalam ziarah tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Biasanya para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga. Berikut akan dijelaskan  rangkaian acara grebeg gulai kambing.
            Pertama, semua warga daerah Cacaban berkumpul dan menikmati kirab budaya yang digelar di lapangan Kwarasan. Dalam kirab ini di bagian depan tampil beberapa orang berpenampilan ala bregada yang memikul sebuah tempayan berisi masakan gulai kambing. Di belakang ada beberapa orang yang salah satu tangannya memegang sebuah layah yang berisi daging masakan gulai, kemudian disusul dengan kelompok yang memikul gunungan hasil bumi, dan bagian belakang tampil kesenian tradisional.
            Sebelum kirab atau arak-arakan ini berangkat menuju ke komplek makam Kiai Tuk Songo, juga digelar sebuah fragmen yang menceriterakan asal-muasal hadirnya gerebeg gulai kambing ini, dan secara simbolis prosesi gerebeg gulai diawali dengan penuangan daging kambing ke dalam tungku atau tempayan oleh Walikota Magelang Ir H Sigit Widyonindito MT dan jajarannya. Dengan penuh kebersamaan dan suka ria, masyarakat pun memasaknya, untuk kemudian masakan tersebut dikirab menuju ke komplek makam Kiai Tuk Songo.
Untuk sampai di komplek makam, yang tidak jauh dari aliran Kali Progo ini, terlebih dahulu harus jalan kaki menyusuri pematang sawah yang berkelok-kelok. Bersamaan dengan itu masyarakat Kelurahan Cacaban Kecamatan Magelang Tengah sudah banyak yang menunggu sambil duduk lesehan di atas alas atau tikar yang dibawa dari rumah masing-masing. Selain membawa tikar atau alas untuk duduk lainnya, warga pun datang juga membawa tas yang berisi makanan, ada yang berbentuk nasi kuning lengkap dengan lauk-pauknya, nasi putih dengan beberapa lauk sayur-sayuran maupun jajanan buatan sendiri.
Beberapa acara juga digelar di komplek makam ini, diantaranya ceramah agama yang dilanjutkan dengan pembacaan Surat Al-Ikhlas, tahlil maupun lainnya. Begitu pembacaan Surat Al-Ikhlas dan tahlil, yang dipimpin seorang kiai dari wilayah Kabupaten Magelang. Selesai dilakukan, beberapa warga langsung saling tukar makanan yang dibawanya. Beberapa saat kemudian, warga pun mulai berebut gunungan hasil bumi, yang di bagian atasnya terdapat sebuah jantung pisang sebagai 'mahkota'-nya. Beberapa orang kemudian juga berebut gulai kambing, yang diletakkan di lokasi lain.
Nilai-Nilai KeIslaman
            Dalam budaya grebeg gulai kambing tersebut, banyak nilai-nilai Islam yang dimasukkan.
a.       Pembacaan do’a-do’a yang dirangkai menjadi suatu dzikir yang disebut mujahadah,
b.      Dengan adanya acara, semua masyarakat bisa berkumpul bersama saling bersilaturahmi,
c.       Mensyukuri atas segala rizki yang Allah berikan,
d.      Mendoakan orang-orang sudah meninggal,
e.       Memupuk rasa kebersamaan,
f.       Saling menjaga hubungan agar lebih berjiwa sosial, dan lain-lain.
Penutup
            Demikian sekelumit penjelasan tentang budaya grebeg gulai kambing yang ada di daerah Cacaban, Magelang. Dengan terus dilakukannya budaya itu, kita turut melestarikan budaya supaya tidak hilang begitu saja, atau bahkan di akui hak milik oleh orang lain. Kita sebagai pemuda Indonesia juga harus turut menjaga tradisi lokal di daerah kita masing-masing.


Referensi:




[1] Lihat Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 306-309.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar