GREBEG GULAI KAMBING TRADISI NGALAP BERKAH
Oleh:
Farida Nurus Sofa
12020011
Program Studi Akhlak dan Tasawuf
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Pendahuluan
Sejarah
masuknya Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan tradisi/budaya lokal
setempat. Hal ini karena agama Islam yang masuk hanya merupakan nilai-nilainya
saja, sehingga diperlukan wadah bagi nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini adalah
kebudayaan setempat yang sudah mendarah daging dalam masyarakat tersebut.
Masuknya dan
berkembangnya Islam di Jawa, memang tidak lepas dari peran para tokoh ulama yang
sangat kreatif dan produktif dalam proses penyebarannya. Dalam kurun waktu yang
tidak begitu lama, agama Islam telah berhasil masuk hingga ke daerah pelosok
sekalipun. Tokoh-tokoh penyebaran itu yang sangat terkenal antara lain adalah
wali songo. Metode dalam menyebarkan dakwah Islam sangat beragam, misalnya
seperti menggunakan jalur perdagangan, jalur perkawinan, jalur pendidikan,
jalur tasawuf, jalur kesenian, dan jalur politik.[1]
Dalam penyebarannya di jawa (khususnya), jalur yang paling populer digunakan
adalah melalui jalur kesenian oleh Sunan Kalijaga.
Sejarah diadakannya Acara Grebeg
Gulai Kambing
Asal
usul diadakannya acara grebeg gulai kambing adalah bahwa pada zaman dahulu, di
dusun itu (cacaban) terjadi bencana yang dinamakan dengan pageblug. Pageblug
adalah bencana yang melanda suatu kelompok masyarakat dimana bencana itu
menyebabkan banyak orang yang meninggal dunia.
Melihat
realitas ini, para santri dan ulama yang ada di daerah tersebut tergugah
hatinya untuk membantu menyelesaikan masalah pageblug. Kemudian mereka para
santri atas dawuh dari Kyai Kodri mengadakan mujahadah di tepi aliran
kali Progo. Mereka berharap, dengan diadakannya mujahadah ini bencana pageblug
yang melanda segera berhenti. Mereka juga berdo’a agar terhindar dari bencana
dan marabahaya.
Kyai
Tuk Songo merupakan nama samaran dari Kyai Abdussalam. Ia juga merupakan salah
satu murid dari Pangeran Diponegoro, yang ketika itu ikut dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
Pelaksanaan Acara Grebeg Gulai
Kambing
Pelaksanaan
acara gulai kambing dilaksanakan setiap tahun pada bulan Besar (Dzulhijjah).
Yaitu pada setiap hari jum’at pon, atau kalau tidak ada jum’at pon maka diganti
dengan hari jum’at kliwon. Acara grebeg gulai kambing ini merupakan tradisi
yang dilakukan sebelum dilaksanakannya acara nyadran.
Nyadran adalah tradisi
yang diadakan setiap tahun sekali. Biasanya, acara nyadran diadakan menjelang
bulan Ramadhan dengan ziarah ke makam-makam leluhur. Kegiatan dalam ziarah
tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan
ampun, dan tabur bunga. Biasanya para peserta nyadran membawa aneka makanan,
seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke
lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang
atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta
beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga. Berikut
akan dijelaskan rangkaian acara grebeg
gulai kambing.
Pertama,
semua warga daerah Cacaban berkumpul dan menikmati kirab budaya yang digelar di
lapangan Kwarasan. Dalam kirab ini di bagian depan tampil beberapa orang
berpenampilan ala bregada yang memikul sebuah tempayan berisi masakan gulai
kambing. Di belakang ada beberapa orang yang salah satu tangannya memegang
sebuah layah yang berisi daging masakan gulai, kemudian disusul dengan kelompok
yang memikul gunungan hasil bumi, dan bagian belakang tampil kesenian
tradisional.


Sebelum
kirab atau arak-arakan ini berangkat menuju ke komplek makam Kiai Tuk Songo,
juga digelar sebuah fragmen yang menceriterakan asal-muasal hadirnya gerebeg
gulai kambing ini, dan secara simbolis prosesi gerebeg gulai diawali dengan
penuangan daging kambing ke dalam tungku atau tempayan oleh Walikota Magelang
Ir H Sigit Widyonindito MT dan jajarannya. Dengan penuh kebersamaan dan suka
ria, masyarakat pun memasaknya, untuk kemudian masakan tersebut dikirab menuju
ke komplek makam Kiai Tuk Songo.
Untuk sampai di
komplek makam, yang tidak jauh dari aliran Kali Progo ini, terlebih dahulu
harus jalan kaki menyusuri pematang sawah yang berkelok-kelok. Bersamaan dengan
itu masyarakat Kelurahan Cacaban Kecamatan Magelang Tengah sudah banyak yang
menunggu sambil duduk lesehan di atas alas atau tikar yang dibawa dari rumah
masing-masing. Selain membawa tikar atau alas untuk duduk lainnya, warga pun
datang juga membawa tas yang berisi makanan, ada yang berbentuk nasi kuning
lengkap dengan lauk-pauknya, nasi putih dengan beberapa lauk sayur-sayuran
maupun jajanan buatan sendiri.

Beberapa acara juga
digelar di komplek makam ini, diantaranya ceramah agama yang dilanjutkan dengan
pembacaan Surat Al-Ikhlas, tahlil maupun lainnya. Begitu pembacaan Surat
Al-Ikhlas dan tahlil, yang dipimpin seorang kiai dari wilayah Kabupaten
Magelang. Selesai dilakukan, beberapa warga langsung saling tukar makanan yang
dibawanya. Beberapa saat kemudian, warga pun mulai berebut gunungan hasil bumi,
yang di bagian atasnya terdapat sebuah jantung pisang sebagai 'mahkota'-nya.
Beberapa orang kemudian juga berebut gulai kambing, yang diletakkan di lokasi
lain.

Nilai-Nilai KeIslaman
Dalam
budaya grebeg gulai kambing tersebut, banyak nilai-nilai Islam yang dimasukkan.
a.
Pembacaan
do’a-do’a yang dirangkai menjadi suatu dzikir yang disebut mujahadah,
b. Dengan adanya acara, semua masyarakat bisa
berkumpul bersama saling bersilaturahmi,
c. Mensyukuri atas segala rizki yang Allah berikan,
d. Mendoakan orang-orang sudah meninggal,
e. Memupuk rasa kebersamaan,
f.
Saling
menjaga hubungan agar lebih berjiwa sosial, dan lain-lain.
Penutup
Demikian
sekelumit penjelasan tentang budaya grebeg gulai kambing yang ada di daerah
Cacaban, Magelang. Dengan terus dilakukannya budaya itu, kita turut
melestarikan budaya supaya tidak hilang begitu saja, atau bahkan di akui hak
milik oleh orang lain. Kita sebagai pemuda Indonesia juga harus turut menjaga
tradisi lokal di daerah kita masing-masing.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar