Kamis, 23 Januari 2014

Tradisi Saparan di Desa Krendegan



TRADISI SAPARAN DI DESA KRENDEGAN, (LERENG SUMBING) MAGELANG
Oleh: Muhamad Ridlo
Prodi: Akhlak Tasawuf
PENDAHULUAN
            Islam datang ke wilayah Magelang sebenarnya sudah lama, bahkan jauh sebelum Wali Songo datang, Islam di Tanah Jawa khususnya Magelang sudah ada tokoh yang menyebarkan Islam. Magelang berada di tengah-tengah pulau Jawa, baik ke  arah timur, maupun arah barat, begitu ke utara maupun ke selatan. Di tengah-tengah itu ada sebuah gunung kecil yang bernama gunung Tidar. Menurut cerita tempat itulah pertama kali seorang Muslim memijakkan kakinya di tanah Jawa dan beliau juga di makamkan di sana..
            Kota Magelang dikelilingi banyak gunung, dan masing-masing warga di sekitar gunung tersebut mempunyai tradisi untuk merasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu tradisi saparan yang berada di desa Krandegan dan dilaksanakan setiap setahun sekali. Dan, untuk kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan apa itu saparan.
        Bulan Sofar atau lebih dikenal dengan bulan Sapar bagi masyarakat Indonesia khususnya orang Jawa, adalah bulan ke dua dalam penanggalan tahun hijriyah. Di berbagai daerah di pulau Jawa banyak sekali tradisi yang dilaksanakan di bulan sapar ini. Sebut saja saparan di sekitar lereng gunung Sumbing. Dari berbagai daerah yang melaksanakan tradisi saparan ini masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang hampir sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Namun secara umum maksud dan tujuan dari pelaksanaan tradisi saparan ini adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa diberi keselamatan dalam    mengarungikehidupanini.
         Entah kapan dan siapa yang memulai tradisi saparan ini, tetapi tradisi saparan rutin dilaksanakan setiap tahunnya,. Namun demikian, di beberapa desa di daerah ini pelaksanaan tradisi saparan tidak lengkap bila tidak menggelar aneka pagelaran kesenian tradisional. Salah satu kesenian tradisional yang seakan-akan wajib dilaksanakan di beberapa desa adalah pagelaran kesenian, missal tari Tayub,lengger,kudalumpingdanlain-lain.
                    Sebagai simbol pelaksanaan saparan ini, pada hari yang telah ditetapkan di masing masing desa, dilaksanakan kenduri bersama. Biasanya pelaksanaan kenduri ini dilaksanakan dirumah kepala dusun masing-masing yang dihadiri warga dusun tersebut. Perlengkapan yang dibawa dalam kenduri ini terdiri dari nasi tumpeng, satu ekor ayam ( mereka menyebutnya ingkung ayam), buah-buahan, dan beberapa lauk pauk lainnya serta beberapa makanan ringan. Setelah mereka berkumpul di rumah kepala dusun maka sesepuh kampung atau tokoh agama akan memberikan sedikit wejangan dan dilanjutkan doa bersama yang dipimpin tokoh agama tersebut. Setelah doa bersama beberapa petugas mengambil sebagian dari  kenduri yang dibawa para warga. Hasil dari penarikan ini biasanya akan digunakan sebagai konsumsi dalam pelaksanaan pagelarankeseniantradisional.
                    Bulan sapar bagi sebagian warga merupakan bulan yang dinanti-nanti. Sebagian anak-anak (bahkan juga orang dewasa) menyebutnya sebagai bulan penuh gizi. Betapa tidak, karena di bulan sapar, sudah menjadi tradisi mereka saling berkunjung. Salahsatu rangkaian pelaksanaan tradisi saparan di daerah ini adalah saling mengundang. Biasanya yang diundang adalah saudara dekat, teman, kenalan sampai relasi bisnisnya. Waktu pelaksanaan saparan yang berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya, memungkin mereka saling berkunjung. Bahkan tidak jarang mereka juga mengundang saudara atau rekan dari luar kota. Bagi sebagian warga yang sedang merantau diluar kota juga menyempatkan untuk pulang kampung sekedar merayakan saparan ini.
            Fokus penelitian ini adalah masyarakat sekitar desa Krandegan dan sekitarnya tentang tradisi saparan. Disebabkan daerah tersebut cukup unik dalam hal pelaksanaan yang ada di dalamnya. Mereka tidak begitu menghiraukan tradisi saparan tersebut apakah sesuai atau tidak bahkan apakah ada hubungannya apabila dikaitkan dengan Islam, Inilah perhatiannya.
             Penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa.  Walaupun di Magelang jauh sebelum Wali Songo sudah ada yang menyebarkan agama Islam, yaitu. Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan di masyarakat.
            Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam .

PANDANGAN WARGA MASYARAKAT DESA KRANDEGAN, KAJORAN, MAGELANG  TENTANG TRADISI SAPARAN
         Kecenderungan upacara tradisi saparan di Sumbing  cukup menarik. Karena sebagian warga, khususnya warga masyarakat dusun di lereng tersebut  mengatakan:
’’Sebenarnya acara saparan itu sendiri bagus, tujuannya pun jelas yaitu : Syukuran dusun atau memperingati cikal-bakal adanya dusun istilahnya dalam bahasa jawa (merti dusun), itu juga samahalnya seperti syukuran yang diadakan setiap hari kemerdekaan tanggal 17 agustus. Mungkin yang perlu ditinjau kembali adalah dalam pelaksanaannya’’.
, warga masyarakat masyarakat Krandegan nampaknya mempunyai cara pandang sendiri terhadap tradisi saparan. Mereka memaknainya sebagai atas rasa syukur. Tetapi kita harus mengetahui acara yang ada didalamnya, apakah hanya acara syukuran yang sederhana atau bahkan ada acara-acara yang lain, mungkin bisa dikatakan tak sewajarnya. Untuk lebih jelasnya kita lihat hasil pemaparan dari salah satu tokoh warga masyarakat dusun lereng Sumbing tentang apa saja acara yang ada di dalamnya, yang di ungkapkan oleh tokoh masyarakat:
“Saparan itu memang dari dulu sudah ada sejak zaman nenek moyang, kalau cikal-bakalnya atau pertama kali muncul kurang begitu jelas, entah itu datangnya pada masa transisi dari hindu-budha ke agama islam, sebelum itu atau bahkan sesudah islam menyebar”.
              Mereka juga menambahkan bahwa intinya semua sama yaitu memperingati dusun sebagai atas rasa syukur yang telah diberikan. Mungkin acara yang ada didalamnya, karena masih banyak menggunakan tradisi-tradisi kejawen. Tetapi mereka harus paham jangan asal ikut-ikutan karena dibalik semua itu ada artinya, sebagai contoh acara didalam saparan itu sendiri ada beberapa kegiatan:
1. Sabelum acara saparan dimulai ada ‘nyadran’, yaitu acara bersih-bersih ke makam, itu  tujuannya selain warga bisa berkumpul bersama juga sebagai kebersamaan karena kalau dilakukan sendiri-sendiri akan merasa berat. Nyadran dilakukan karena makam-makam didusun tidak dikasih nisan, hanya sebatang kayu, jadi kalau tidak dibersihkan maka akan tumbuh rumput dan lama kelamaan kalau tidak dibersihkan nanti akan hilang. Acara seperti itu tidak harus, misalkan tidak dilakukan juga tidak apa-apa. Selang sehari kemudian diadakan pengajian umum yang dilaksanakan pada siang hari setelah waktu Dzuhur.
2. Pada malam hari sebelum acara inti, para warga berkumpul di rumah bapak bayan (dukuh) untuk memanjatkan do’a kepada Yang Maha Esa, di mulai dengan berdo’a bersama acara Sesaji yang didalamnya ada beraneka macam makanan dan minuman, itu semua mempunyai makna, kata sesaji itu berasal dari kata ‘ngajeni’ yaitu dengan mendatangkan orang-orang untuk ngaji bersama setelah selesai mereka di’ajeni’ atau dijamu dengan makanan-makanan yang ada dalam sesaji tersebut. Jadi sesaji itu bukan dipersembahkan buat makhluk halus, melainkan untuk diri sendiri, kalau misalkan tidak dilakukan akan mendatangkan bahaya, hal seperti itu tidak di benarkan kalau memang demikian justru harus diluruskan.
3. Acara puncak, yaitu, dari keluarga tokoh masyarakat, mendatangkan sanak saudara dan mengundang warga lain yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan bisa berkumpul bersama dengan disuguh sebuah kesenian daerah. Acara puncak ini juga dihadiri oleh warga lain desa, kebanyakan mereka bertujuan hanya untuk sekedar cari keramaian
 perlu di tinjau kembali terutama dalam hal penjamuan, karena sangat berlebihan dalam menjamu, hanpir rata-rata satu kepala keluarga bisa menghabiskan uang sebesar satu juta rupiah dalam satu hari, itu akan diraskan begitu beratnya bagi mereka yang bisa dikatakan warga yang kurang mampu dengan harus mengeluarkan dana sebesar itu, mungkin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sudah berjuang dengan susah payah, aplagi harus ditambah dengan beban biaya yang lebih berat. Dari pihak yang diundang pun mereka harus bergantian mengundang, apabila di dusunnya ada saparan, itu juga akan menambah beban seperti mempunyai ikatan.
Penulis merasa sangat kekurangan dalam memberikan penjelasan tentang tradisi Saparan diatas, mungkin dengan sedikit hasil memaparkan uraian wawancara dari warga dan hasil dari pengalaman saat bergaul dengan warga mengenai kegiatan tradisi saparan maupun kegiatan yang ada di dalamnya akan bisa menambah pengertian atau wawasan bagi mereka yang melaksanakannya terlebih bagi warga yang hanya ikut-ikutan dan tidak tau makna di dalamnya, karena hal semacam itu akan lebih berbahaya dibanding warga yang melakukan tetapi mengerti makna dan mempunyai tujuan. Sikap seperti ini diperlukan, karena kita bukanlah bangga yang membenarkan diri sendiri belaka, melainkan sanggup menghargai pandapat orang lain, yang terkadang betentangan dengan pendirian kita sendiri. Pandangan ini memang perlu ditekankan karena pluralitas kita sangat tinggi dari sudut agama, budaya, bahasa, adat kebiasaan maupun politik. Ini terbawa oleh pendidikan, letak geografis maupun cara hidup kita yang sangat berbeda dari satu dengan lain.
HUBUNGAN AGAMA ISLAM DENGAN TRADISI SAPARAN BERKAITAN DENGAN AKHLAK
Dideda Krandegan pada umumnya, hubungan agama dengan tradisi saparan bisa dikatakan tidak ada, misalnya kalau ada juga tidak terlalu bertentangan dengan islam. Hal ini bisa disimpulkan dari hasil pemaparan warga, bahwa kebanyakan dari mereka mengatakan acara saparan itu warisan nenek moyang yang harus tetap di lestarikan dan tidak ada sangkut-pautnya terhadap agama.
Tetapi yang perlu diperhatikan adalah dalam pelaksanaan seperti yang sudah dipaparkan diatas, jadi akan muncul suatu pertanyaan apakah acara yang ada itu sudah sesuai dengan akhlak? Sedangkan akhlak sendiri mempunyai arti Secara bahasa akhlak berasal dari kata اخلقيخلقاخلاقا artinya perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik. Menurut Istilah: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Kenyataan sosial semacam ini adalah tantangan bagi agama-agama, khususnya islam. Agama, menurut klaim penulis, harus mampu berkomunikasi lebih dekat lagi dengan masyarakat, terutama komunitas masyarakat pedesaan, seperti halnya warga masyarakat dusun tersebut tentang tradisi saparan. Jika tradisi saparan masih saja berkukuh dengan pandangannya sendiri, tanpa dikaji kembali melalui agama, karena masyarakat lereng Sumbing adalah 100% islam, dan semuanya adalah warga NU,  bukan mustahil mereka akan mengabungkan antara tradisi dan agama dalam acara-acara semacam itu, Inilah tantangan baru agama islam khususnya bagi kaum intelektual muda khususnya warga masyarakat lereng Sumbing.
Prinsip dan konsep-konsep yang mendasari penilaian tentang perilaku manusia Contohnya, dengan patokan apa dapat dibedakan antara tindakan yang “benar” dan yang “salah” secara moral atau akhlak? Apakah kesenangan merupakan satu-satunya ukuran untuk menentukan sesuatu sebagai yang “baik”? Apakah keputusan moral bersifat sewenang-wenang atau sekehendak hati?
Maksud utama ungkapan moral atau akhlak bukanlah untuk menegaskan bahwa demikianlah persoalan yang ada, melainkan untuk menasehati, mengingatkan, mensyaratkan, menyatakan, atau memprotes bahwa demikianlah yang harus dilakukan. Sesungguhnya tujuan pertama misi diutusnya Nabi adalah kajian akhlak. Nabi SAW Bersabda:“ Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Imam Malik )
KESIMPULAN
            Magelang adalah merupakan daerah tertua di Indonesia, bayangkan saja pada tahun 2013 ini umurnya sudah mencapai 1.107 tahun. Agama Islam di Indonesia dibawa oleh para kekasih Allah, keberhasialan mereka dalam menyebarkan agama Islam karena mereka pandai membaca situasi dan kondisi yaitu menyesuaikan kebudayaan dan tradisi yang ada di tanah Jawa khususnya Magelang dan sekitranya. Terlebih di daerah Krandegan sendiri mereka tidak menghilangkan sama sekali tradisi yang sudah ada, hanya saja ditambahi atau dimodifikasi, yang dulunya tidak ada unsur nilai Islamnya sekarang ditambahi dengan nilai-nilai Islam.
            Salah satunya adalah tradisi Saparan yang terdapat di desa tersebut, selain sebagai ajang silaturahim, bulan ini juga dijadikan sebagai bulan untuk memperingati cikal-bakal desa tersebut, biasanya saparan dilakukan satu bulan penuh, bergiliran dari satu desa ke desa yang lain, waktu pelaksanaannya malam hari, sebelum acara puncak dimulai pada siangnya dilakukan acara pengajian umum sebagai bukti itu adalah bahwa saparan itu sudah di sisipi oleh nilai-nilai keagamaan.
           
           
Seniman petani padepokan Gadung Melati lereng Merapi membawakan tari Genderang Gunung saat digelar Festival Lima Gunung (FLG) XI di lereng Gunung Sumbing Krandegan, Sukomakmur, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (1/7). FLG XI sebagai ajang silaturahmi antarseniman petani dari lima gunung (Merapi, Sumbing, Andong, Menoreh dan Merbabu).


Salah satu gambar kesenian yang ikut meramaikan tradisi Saparan di Krandegan, Kajoran, Magelang. Sebelum acara puncak dimulai dilaksanakan Nyadrana dan pengajian pada siang harinya, setelah acara itu selesai beru kemudian proses acara Saparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar