Sejarah Kobro Siswo Sebagai Islamisasi di
Borobudur
Oleh:
Khoirul Rokhman
Program Studi Akhlak dan
Tasawuf
Sekolah Tinggi Agama Islam
Sunan Pandanaran
Yogyakarta
2014
Pendahuluan
Berbicara
tenteng Islam di Borobudur, maka secara tidak langsung kita juga berbicara
tentang Islam di Jawa, di mana proses Islamisasi di Borobudur dan di pulau Jawa
pada umumnya tidak jauh berbeda yaitu sama-sama menggunakan sarana Tradisi dan
kebudayaan lokal yang di dalamnya diisi dengan nilai-nilai Islam. Perlu
diketahui bahwa Islam di Jawa terutama di pedalaman Islam lebih bercorak
Agraris[1],
yaitu bercorak sinkretis antara Hinduisme dan Islamisme[2].
Maka tak
heran bila Islam di Jawa dan khususnya di Borobudur bisa dengan cepat di terima
dan berkembang pesat pada masyarakat setempat. Karena islam masuk tidak dengan
paksaan akan tetapi dengan apa yang sudah ada pada diri mereka yang kemudian
disesuaikan pada diri mereka. Makalah ini akan membahas tentang tradisi
kesenian dari masyarakat Borobudur yang kemudian dijadikan sebagai sarana
Islamisasi di daerah ini. Ini sangat menarik karena sebagai mana kita tahu
bahwa di daerah Borobudur terdapat sebuah candi terbesar dan juga merupakan
pusat peribadatan Waisak, akan tetapi mayoritas penduduk asli dan bahkan bisa
di dikatakan semua penduduk asli beragama Islam. Di sini pasti telah terjadi
sebuah peralihan luar biasa dari Hindu ke Islam.
Proses Islamisasi di Jawa khususnya Magelang
Ketika
Pada zaman wali songo menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dan dengan
menggunakan media atau sarana tradisi dan kebudayaan lokal yang diisi dengan
nilai-nilai Islami. Wali yang menyebarkan Islam di Jawa Tengah adalah Sunan
Kalijaga yang terkenal dengan penyebaran agama Islam menggunakan mediasi Wayang
kulit dan berbagai tradisi di masyarakat setempat.
Khusus
di Magelang yang menyebarkan agama Islam adalah sunan Geseng yaitu murid dari
sunan Kalijaga, dan dapat dipastikan bahwa corak berdakwahnya tidak jauh
berbeda dengan sunan Kalijga, yaitu menggunakan tradisi dan kebudayaan dari
masyarakat setempat yang di dalamnya diisi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Makam
sunan Geseng terletak di antara perbatasan Grabag dan Salatiga.
Sejarah Kubro Siswo
Kesenian Kubrosiswo pada dasarnya
sudah ada sebelum agama Islam masuk ke daerah Borobudur. Tentang kapan berdiri
dan siapa yang mendirikan kesenian ini masih kurang jelas, hal ini dikarenakan
kesenian ini merupakan tradisi kesenian turun menurun dari nenek moyang
masyarakat Borobudur, tapi yang jelas tradisi kesenian ini berasal dari
Borobudur.
Kubrosiswo merupakan kesenian tradisional
berlatar belakang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa, khusunya Borobudur.
Kata Kubrosiswo berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata, yaitu Kubro yang berarti besar dan siswo yang berarti
siswa atau murid, jadi kubrosiswo bisa diartikan sebagai murud-murid Tuhan yang
diimplementasikan dalam pertunjukan yang selalu menjunjung kebesaran Tuhan.
Kubro sisiwo merupakan singkatan dari Kesenian Ubahing Badan Lan Rogo
(kesenian mengenai gerak badan dan jiwa), sarana untuk mengingatkan umat Islam
dan manusia pada umumnya agar menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.
Kesenian Kubrosiswo juga sering dikaitkan
dengan Ki Garang Serang. Beliau merupakan seorang prajurit Pangeran Diponegoro
yang berdakwah menyebarkan Agama Islam di daerah pegunungan menoreh. Dalam
perjalanannya, beliau memasuki hutan lebat yang masih banyak di huni oleh
binatang buas. Untuk memudahkan perjalanannya dalam berdakwah didaerah
pegunungan menoreh, beliau membakar sebagian hutan yang digunakan sebagai
jalan. Ketika hutan itu dibakar, terjadilah pertentangan antara Ki Garang
Serang dengan sekelompok binatang buas. Tetapi karena kesaktiannya, maka para
binatang buas dapat tunduk dan mengikuti perintah beliau. Dari pertarunagan
inilah kemudian berinspirasi berbagai gerakan dari tradisi kesenian Kubrosiswo.
Selain menyebarkan Agama Islam, beliau juga berjuang
mengusir penjajah. Tidak heran jika irama gerak dalam kubrosiswo bercirikan
tarian prajurit yang ritmis dan padu dengan musik yang menggugah semangat.
“roh” Kubro Siswo yang bersifat spiritual dan enerjik.
Pementasan
Kubrosiswo
Kesenian Kubrosiswo
ini pada umumnya dipentaskan malam hari
dengan durasi waktui kurang lebih 5 jam dan biasanya ditampilkan secara massal,
dengan diiringi oleh lagu-lagu yang bercirikan lagu perjuangan dan qasidah,
akan tetapi liriknya telah diubah sesuai misi Islam. Alat musik yang digunakan
pada umumnya adalah bende, 3 buah dodok sejenis kendang, dan jedor atau bedug, kecer atau kecrekan. Bende berfungsi sebagai pelengkap musik, dodok atau kendang berfungsi
sebagai menambah suasana, bedug atau
jedor berfungsi untuk mengiringi gerakan-gerakan dari para penari. Sedangkan
cara Dandanan mereka seperti tentara pada jaman keraton, tapi dari pinggang ke bawah
memakai dandanan ala pemain
bola tak lupa ada “kapten” yang memakai peluit.



Selain memadukan antara tari-tarian dan lagu serta musik
tradisional, terdapat juga atraksi-atraksi yang menakjubkan. Diantaranya
mengupas kelapa dengan gigi, naik tangga yang anak tangganya terdiri dari
beberapa berang (istilah jawa bendho). Atraksi- atraksi ini di maksudkan untuk
menarik minat masa agar mereka masuk Islam.
Puncak acara dari
tradisi kesenian Kubrosiswo ini ialah ada beberapa dari penarinya yang
kesurupan (ndadi, trance) atau kemasukan roh. Adegan
kesurupan ini merupakan penggambaran peperangan Ki Ageng Serang dengan binatang –binatang buas
perbukitan Menoreh, hanya saja binatang-binatang itu digantikan oleh pemain
kubrosiswo yang berbaju singa atau kerbau (kewanan).
Seiring lecutan pecut dan bau kemenyan maka, menarilah binatang-binatang
tersebut. Mereka akan unjuk kesurupannya dengan cara yang macam- macam. pemain
yang kesurupan ada kecenderungan untuk mendekati jedor atau alat musik lain
yang ramai dibunyikan saat itu.
Di akhir acara pawang akan memaksa para binatang untuk
mendekati sebuah gentong, yang ternyata berguna untuk melepas roh asing yang
menempel pada tubuh si penari. Ketika tubuh si penari berhasil dipaksa
mendekati gentong dan doa pun di panjatkan, maka ia akan terkulai lemas. Tujuan
dari atraksi punak ini , yaitu ndadi
adalah sesuai degan tradisi yang berkembang di masyarakat Borobudur saat
itu yang sangat mempercayai klenikan atau hal-hal yang berbau dengan mistis.
Logika yang berkembag yaitu bagaimana mungkin seorang
manusia (Ki Ageng Serang) mampu mengalahkan binatang-binatag buas yang
menghadangnya kalau Ki Ageng Serang ini
tidak memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Maka dengan demikian masyarakat
pada saat itu akan lebih cenderung mengikuti dan ingin menjadi seperti ki Ageng
Serang yang sagat sakti. Dengan demikian mereka akan masuk dan memeluk agama
Islam.
Ketika semua penari
berhasil disembuhkan maka selesailah acara tersebut. Dalam lagu yang
dinyanyikan itu, terdapat beberapa pesan-pesan dakwah. Pesan yang diharapkan
mampu mempengaruhi segi kognitif para penontonnya, terutama dalam hal
pengetahuan keagamaan.
Salah satu
contoh syair lagu dalam Kubro Siswo adalah :
Kito Poro Menungso
(Kita Semua Manusia)
(Kita Semua Manusia)
Kito poro menungso ayo podo ngaji
(Kita semua manusia ayo mengaji)
Islam ingkang sampurno pepadanging bumi
(Islam agama yang sempurna, memberi cahaya bagi bumi)
Ayo konco-ayo konco ojo podo lali
(Ayo kawan-ayo kawan jangan sampai lupa)
Lali mundhak ciloko mlebu njroning geni
(Lupa membuatmu celaka, masuk dalam api)
Yo iku aran neroko bebenduning Gusti
(Yaitu neraka tempat pembalasan Tuhan)
(Kita semua manusia ayo mengaji)
Islam ingkang sampurno pepadanging bumi
(Islam agama yang sempurna, memberi cahaya bagi bumi)
Ayo konco-ayo konco ojo podo lali
(Ayo kawan-ayo kawan jangan sampai lupa)
Lali mundhak ciloko mlebu njroning geni
(Lupa membuatmu celaka, masuk dalam api)
Yo iku aran neroko bebenduning Gusti
(Yaitu neraka tempat pembalasan Tuhan)
Kesimpulan
Pada dasarnya kesenian Kubrosiswo ini memang sudah ada
sebelum Ki Ageng Serang, akan tetapi Ki Ageng Serang lah yang kemudian
menyisipkan nilai-nilai ajaran Islam di dalam kesenian Kubrosiswo ini. Beliau
juga menambahkan sebuah ilustrasi tentang perjalanannya yang kemudian beliau
bertemu dengan sekawanan binatang buas di pegunungan menoreh dan terjadi
perselisihan yang kemudian karena kesaktian beliau hewan-hewan buas tersebut
dapat di taklukkan. Ilustrasi ini di tunjukan untuk menarik perhatian
masyarakat agar mereka memeluk Islam.
Seiring dengan berkembangnya tradisi kesenian Kunrosiswo
ini maka muncul berbagai pengklaiman bahwa Kubrosiswo berasal dari daerah
kecamatan Mendut, akan tetapi pada hal ini tidak dapat di buktikan secara
ilmiah. Karena kesenian Kubrosiswo yang berasal dari mendut ini berdirinya
sekitar tahun 1960 sedangkan Ki Ageng
Serang yang memasukkan unsur-unsur ajaran Islam hidup pada masa pangeran Diponegoro.
Mugkin yang mengklaim bahwa kubrosiswo dari mendut itu bukanlah
awal mula pembentukan tradisi Kubrosiswo yang menjadi budaya di Borobudur atau
pada umumnya Magelang, akan tetapi i mungkin itu hanya mentradisikan Kubrosiswo
di kecamatan Mendut yang diresmikan pada sekitar tahun 1960-an.
Daftar Pustaka
Huda, Nur, Islam Nusantara: sejarah Sosial
Intelektual Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar