Kebudayaan Islam di Lok Polok, Blega, Bangkalan Madura:
(Sesuatu yang Unik dari Desaku)
Nur Hamiyetun
12020033
Akhlak Tasawuf
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Pendahuluan
Awal-mula masuknya Islam ke Madura,
berawal dari penyebaran Islam ke Nusantara yang mana awal penyebaran tersebut
dirasakan sangatlah mudah diterima di Nusantara. Jalur-jalur yang ditempuh
Islam dalam memasuki Nusantara meliputi; pertama, Islam datang dengan
mempertimbangkan bagaimana kondisi tradisi yang ada di Nusantara sehingga,
tradisi yang ada di Nusantara tidak dilawan melainkan dijadikan sebuah wahana
untuk penyebaran Islam. Kedua,
agama Islam datang ke Nusantara dengan cara baik-baik, tidak mengusik
agama dan kepercayaan apapun sehingga bisa hidup secara berdampingan. Ketiga,
Islam datang dengan cara memodifikasi ulang tradisi dengan Islam sehingga,
Islam dianggap sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang
mentradisi sehingga, orang tidak dapat meninggalkan Islam dalam kehidupan
mereka.
Kemudian dalam proses masuknya Islam
ke Nusantara memberi suatu sumbangan kebudayaan, baik bisa dilihat dengan
peninggalan ketika terjadi peislamisasi di Nusantara. Kebudayaan yang masuk ke
Nusantara disini menjadi suatu akulturasi yang memaduan antara dua budaya atau
lebih yang saling berhubungan atau saling bertemu, tetapi penyatuan in tidak
menyebabkan hilangnya kepribadian yang dimiliki suatu kebuadayaan itu sendiri
yaitu di Nusantara. Dalam konsep akulturasi ini, Islam diposisikan sebagai
kebudayaan asing dan kemudian masyarakat sebagai lokal sebagai penerima
kebudayaan asing tersebut.[1]
Dilanjutkan dengan kehadiaran Islam ke Nusantara itu tidak
lepas dengan nuasa yang Islam dan tradisi dan sifat yang memasyarakat dengan
watak Islam yang moderat dan selalu mengapresiasikan terhadap kebudayaan lokal
yang dimiliki oleh Nusantara, serta islam selalu memberikan suatu perlindungan
terhadap semua kaum, mulai dari golongan kaum yang lemah hingga yang tidak lemah
untuk menghadapi sebuah tantangan dan ini juga salah satu sebabnya Islam juga
diterima dengan mudah oleh masyarakat.
Oleh karena itu, akan beberapa hal yang menyebabkan Islam
didukung masuk ke Nusantara. Kemudian pada mula kondisi awal Madura (yang masih
primitif dan berbentuk kerajaan) yang memang langsung dikenalkan akan keagamaan
tersebut dengan jalur perkawinan antara bangsawan (sesama keturan darah biru),
Islampun akhirnya mendarah daging di daerah Madura yang sejuk nan Indah.
Kemudian di sini saya akan sedikit membahas tentang hal
yang saya ketahui akan desaku yang damai, dalam pembahasannya saya akan
membaginya menjadi beberapa pembahasan yang meliputi: sejarah
perkembangan Islam di Madura, kebudayaan di Madura dan terakhir Peranan kyai di
Masyarakat Madura.



Gambar. Kyai dan beberapa kebudayaan Madura.
Pembahasan
Sejarah Perkembangan Islam di Madura
Islam masuk dibawa oleh
saudagar-saudagar dari Gujarat. Jadi Islam masuk bertalian erat dengan
perdagangan. Islam di pulau Madura juga di pengaruhi budaya asing hal ini
diperkuat dengan ditemukanya makam raja-raja Sumenep yang disebut asta tinggi
serta beberapa mushalla dan masjid mirip dengan bentuk candi. Masyarakat Madura
juga mempercayai kekuatan ghaib di alam yang terdapat di benda-benda
(dinamisme) ataupun roh-roh tertentu (animisme).
Peranan wali songo dalam
penyebaran agama, mereka sangat besar peranannya dalam proses islamisasi di
Jawa. Wali-wali yang tertua terdapat di Jawa Timur, karena Islam itu datangnya
lewat perdagangan. Dengan dekimian pusatnya terletak di pelabuhan-pelabuhan
seperti Surabaya, Tuban, Gresik dan lain lain.
Seperti halnya daerah-daerah
lain, di nusantara, maka pulau Madura yang secara geografis terletak di dekat
atau berhadapan dengan kota-kota pelabuhan di Jawa Timur yaitu pelabuhan Tuban,
Gresik dan Surabaya tidak terlepas dari usaha penyebaran agama Islam yang
dilakukan oleh para wali di pulau Jawa. Sunan Giri yang nama aslinya Raden Paku
merupakan murid sunan Ampel. Karena tempat tinggalnya di bukit (Giri) di Gresik,
maka ia terkenal dengan nama Sunan Giri. Yang telah di-Islam-kan ialah Madura,
Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate.
Di zaman kerajaan Madura Islam
dipandang oleh masyarakat sebagai nama agama yang penting. Hal ini terlihat
dari diistemewakan para pemimpin islam dengan memerinya tanah perdiakan
(desa-desa bebas yang diperuntukan raja bagi warga terhormat seperti
tokoh-tokoh agama dan militer) pada mereka.
Kebudayaan Islam di Lok Polok, Blega,
Bangkalan, Madura
Masyarakat Madura dikenal
memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Identitas
budayanya itu dianggap sebagai deskripsi dari generalisasi jatidiri individual
maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan. Kehidupan
mereka di tempat asal maupun di perantauan senantiasa dipahami oleh komunitas
etnik lain atas dasar identitas kolektifnya itu.[2]
Madura memiliki beragai
kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur-unsur religius salah satunya agama
islam. Didalam kebudayaan itu terdapat keunikan yang mencerminkan masyarakat Madura.
Beberapa kebudayaan masyarakat madura sebagai berikut:
Pertama, seni
musik atau seni suara yaitu tembang macapat, musik saronen dan musik ghul-ghul.
Tembang macapat adalah tembang (nyanyian) yang mula-mula dipakai sebagai media
untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan) di surau-surau sebelum dilaksanakan
shalat wajib, tembang tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan
jiwa.
Selain berisi puji-pujian
tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu
pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi
pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan
berbu daya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih
memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi
hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa
Alam Semesta.
Kedua, seni
tari atau gerak yaitu tanmuang sangkal dan tari duplang. Gerakan tari
tradisional Madura tidak pemah terlepas dari kata-kata yang tertera dalam
Al-Quran seperti kata Allahu atau Muhammad, begitu pula dengan batas-batas
gerakan tangan tidak pemah melebihi batas payudara. Tari muang sangkal adalah
seni tradisi yang bertahan sampai sekarang, Tari tersebut telah mengalami
berbagai perubahan yaitu menjadi tarian wajib untuk menyambut tamu-tamu yang
datang ke Sumenep.
Ketiga, upacara
ritual yaitu sandhur pantel. Masyarakat petani atau masyarakat nelayan
tradi sional Madura menggunakan upacara ritual seba gai sarana berhubungan
dengan mahluk gaib atau media komunikasi dengan Dzat tunggal, pencipta alam
semesta. Setiap melakukan upacara ritual media kesenian menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari seluruh proses kegiatan. Masyarakat Madura menyebutnya sandhur
atau dhamong ghardham, yaitu ritus yang ditarikan, dengan ber bagaitujuan
antara lain, untuk memohon hujan, menjamin sumur penuh air, untuk menghormati
makam keramat, membuang bahaya penyakit atau mencegah musibah, adapun bentuknya
berupa tarian dan nyanyian yang diiringi musik.
Daerah-daerah yang mempunyai
kesenian ini menyebar di wilayah Madura bagian timur. Batuputih terdapat ritus
rokat dangdang, rokat somor, rokat bhuju, rokat thekos jagung. Di Pasongsongan
terdapat sandhur lorho’. Di Guluk-guluk terdapat sandhuran duruding, yang
dilaksanakan ketika panen jagung dan tembakau, berupa nyanyian laki-laki atau
perempuan atau keduanya sekaligus tanpa iringan musik.
Keempat, seni
pertunjukan berupa kerapan sapi dan topeng dalang. Perlombaan memacu sapi
pertama kali diperkenalkan pada abad ke 15 (1561 M) pada masa pemerintahan
Pangeran Katandur di keratin Sumenep. Permainan dan perlombaan ini tidak jauh
dari kaitannya dengan kegiatan seha ri-hari para petani, dalam arti permainan
ini mem berikan motivasi kepada kewajiban petani terhadap sawah ladangnya dan
disamping itu agar peta ni meningkatkan produksi temak sapinya.
Namun, perlombaan kerapan sapi
kini tidak seperti dulu lagi dan telah disalahgunakan sehingga lebih banyak mudharat
daripada manfaatnya. Masalahnya banyak di antara para pemain dan penonton yang
melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, yakni mereka tidak lagi
mendirikan shalat (Lupa Tuhan, ingat sapi). Kerapan sapi memang telah menjadi
identitas, trade mark dan simbol keperkasaan dan kekayaan aset kebudayaan
Madura.
Kelima,
adat-adat perkawinan muda yang sangat kerap dilakukan oleh masyarakat Madura
dan dalam pelaksaannya ada beberapa ritual yang memang di tanamkan sejak dulu
kala. Seperti halnya proses-proses yang harus dilakukan adalah:[3]
a. Alat lamaran (peminta)
Sebelum
perkawinan dilaksanakan, terlebih dahulu pihak laki-laki mengadakan lamaran
(peminta). Alat-alat yang dipersiapkan untuk lamaran antara lain : Sapu Tangan,
Minyak Wangi dan Uang Sekedarnya. Ketiga alat tersebut dihantarkan oleh ketua dari
pihak laki-laki. alat-alat tersebut adalah sebagai bukti bahwa seorang
perempuan telah resmi bertunangan dengan seorang laki-laki.
b. Alat Pinangan (Teket Petton)
Dengan
berjalannya waktu, tiba saatnya pihak laki-laki untuk mengantarkan alat-alat
pinangannya (teket petton). Alat-alat yang diantarkan antara lain: Seekor Sapi,
Kocor (cucur), Polot (Ketan) yang sudah dimasak, Sirih dan pinang, Pakaian
lengkap seorang wanita, seperti sarung, kerudung, baju dan lain-lain, Alat-alat
perhiasan (Make Up).
Diantara
yang paling wajib untuk hari pertama dengan datangnya lamaran yang berbentuk
hewan sapi. Karena disini mereka menyakini bahwa hewan sapi dianggap sebagai lambang dari ibu pertiwi yang
memberikan kesejahteraan kepada semua makhluk hidup di bumi ini dan memang
penghasilan utama dari Madura yaitu ternak sapi.
Peranan Kyai di Masyarakat di Lok Polok,
Blega, Bangkalan, Madura[4]
Di
sini saya ingin menggambarkan bagaimana peranan kyai dalam membentuk prilaku
masyarakat Madura, yang sebagaimana masyarakat yang kental dengan agama atau
relijius tersebut.Selanjutnya permasalahan yang timbul adalah bagaimana peranan
kyai dalam membentuk prilaku agama relegius dalam masyarakat madura pada
umumnya.
Kyai merupakan pemimpin informal
yang senantiasa beperan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam komunitas
muslim. Sehingga peranan seorang kyai dijadikan panutan masyarakat. Segalah
tingkah lakunya akan senantiasa mempengaruhi prilaku masyarakat disekitarnya.
Hal ini tidak terlepas dari keberadaan mereka sebagai pewaris nabidan tokoh
kharismatik. Sebagi tokoh kharismatik
mereka sangat disegani dan dihormati serta mempunyai pengaruh yang cukup besar
dalam kehidupan masyarakat. Penjelasan iniselanjutnya menjelaskan tentang pertama
bagaimana konsep peranan kyai pada umumnya yang terdiri dari pengertian peranan dan kyai.
Kyai di Madura adalah sosok
seseorang panutan yang sangat dihormati
oleh masyrakat sekitar. Contohnya saja kyai banyak rang-orang alim hafal kitab
dan mendirikan sebuah surau dan terdapat sebuah majelis pembelajaran kitab
setiap sorenya tidak itu saja bukan hanya satu, dua daerah melainkan terdapat
dari banyak daerah.
Kemudian, tempat di desa saya
sangat banyak suatu tempat pembelajaran kitab tiap sorenya. Di sini kelas dalam
pembelajaran kitab di bagi menjadi beberapa yaitu; (tk 01, tk 02, kelas1-6,
kelas dhommi, sampai kelas yang senior). Di sini juga terdapat nilai-nilai
ketawudhu’an kepada seorang ustad atau kyai, sepertihalnya: ada seorang kyai
yang sedang berjalan dan semua anak didiknya tidak melihat dan tidak berisik
sama sekali, semua diam hingga akhirnya sang ustad pergi.
Kemudian di balik sifat-sifat
yang diatas ada beberapa nilai yang baik yang dapat kita ambil dari semua ini
yaitu, sekeras apapun seseorang Madurawan namun tetap saja tawadu’ kepada kyai.
Karena mereka masih sangat-sangat percaya sekali akan walad, karomah kyai.
Di sini dengan adaya watak orang
Madura yang benar-benar menilai bahwa harga diri, sesuatu yang paling penting
dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi
bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih
tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan
tradisi carok pada masyarakat Madura. Ada perbedaan antara Madura
Timur (Sumenep dan Pamekasan) dengan Madura Barat (Sampang dan Bangkalan).
Orang Madura Timur dikenal lebih halus baik dari sikap, bahasa, dan tatakrama
dari pada orang Madura Barat. Orang Madura Barat lebih banyak merantau dari
pada Madura Timur. Hal ini, dikarenakan Madura Barat lebih gersang dari pada
Madura Timur yang dikenal lebih subur.
Inilah yang mana membuat
seseorang yang memiliki darah keturunan Madura dikenal dengan seseorang yang
memiliki sesuatu yang sangat spesial baik itu dalam melakukan segala hal, dan
dalam sikap ketawadu’an terhadap kyai. Sikap untuk ingin mengetahui yang luas
dan dengan usaha yang keras.
Kesimpulan
Di atas telah dijelaskan akan nilai
Islam dan kebudayaan yang ada dalam Madura terutama dalam desa saya tercinta, ritual-ritual
kebudayaan yang sering dilakukan dan gambaran tentang kehidupan budaya Madura.
Kemudian dengan adanya peranan para kyai yang menyebarkan agama Islam di Madura
membuat suatu yang mendarah daging di masyarakat Madura. Dan pengaruhnya bisa
dirasakan kita sampai sekarang ini. Banyak orang yang mengerti akan ilmu agama
dan kebudayaan lokal yang ada yang berjalan beriringan dengan berjalannya
waktu.
Setelah
di atas diterangkan dengan watak keras yang dimiliki oleh orang Madura itu juga
dapat diluluhkan dengan eorang peranan kyai. Kemudian sesuatu yang tidak perlu dianggap
sesuatu yang tabu, kerena ilmu pengetahuan tidak hanya melaui dengan
hal-hal yang kita pelajari dalam bangku sekolah melainkan banyak nilai-nilai
dalam masyarakat soaial yang terjadi menjadi nilai yang terbaik dalam pengalaman
hidup. Yang mana suatu nilai tersebut merupakan sesuatu perwujudan dari
anggapan baik, yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap pentik oleh
masyarakat dan hal ini yang mempengaruhi perilaku dan tindakan manusia baik
secara individu maupun kelompok. Bisa dikatakan dengan kata lain sesuatu yang
merupakan kumpulan dari sumua sikap dan perasaan yang selalu diperhatikan
melalui perilaku manusia. Sehingga budaya dan Islam berjalan beriringan.
Resensi
Hamami,
Tasman, Islam dan Kebudayaan Lokal, Yogyakarta: Pokja Akedemik Uin Suka,
2005,
Nara
sumber :
a.
Satumi
b.
Muhammad Ibrahim
c.
Warga sekitar Lok-polok, Blega, Bangkalan, Madura
d.
Pengalaman hidup penulis
[1] Tasman Hamami, Islam dan
Kebudayaan Lokal, Yogyakarta: Pokja Akedemik Uin Suka, 2005, hal. 9.
[2] Nara sumber
[3] Lontaran ini langsung disampaikan
oleh nara sumber yang bernama Tumi Lok-polok, Blega, Bangkalan, Madura
[4] Menurut pengalaman semasa tinggal
di desa Lok-Polok, Blega, Bangkala, Madura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar