Baayun Mulud
Upacara Adat Suku Banjar-Kalimantan Selatan
Oleh:
Nurul Qomariyah
13020050
Program Studi Akhlak Tasawuf
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandan Aran
Pendahuluan

Pada awalnya, sebelum berakulturasi
dengan islam, upacara ini bernama Baayun Mulud dan setelah budaya ini dimasuki
oleh ajaran islam namanya berubah menjadi Baayun Mulud.
Tradisi ini masih ada hingga saat ini, Upacara
atau tradisi suku banjar berlaku bagi warga masyarakat yang berdomisili di
Kalimantan Selatan. Selain sebagai tradisi yang menjadi rangkaian dari upacara
daur hidup urang (orang) Banua-Banjar,[1]
Upacara Baayun Mulud juga dapat dijadikan sebagai sarana upacara tolak bala.
Asal-usul

Seiring dengan masuk dan berkembangnya
ajaran agama Islam dalam dalam kehidupan orang banjar, maka terjadilah proses
akulturasi antara ajaran yang dibawa oleh para penyebar agama Islam dengan
kebudayaan local yang sudah ada sebelumnya, mewujud dalam penyelengaraan upacara
Baayun Mulud.
Upacara baayun mulud termasuk
kedalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa. Upacara ini
telah menjadi ritual wajib yang sudah menjadi tradisi jauh sebelum ajaran islam
dianut oleh orang-orang suku banjar. Dulu, upacara ini sering dikenal dengan
sebutan Baayun Mulud. Sejalan dengan masuknya islam, maka, kemudian upacara Baayun
Mulud dipadukan dengan ajaran agama islam dan lantas disebut dengan istilah
baayun mulud
Sebelum berakulturasi dengan ajaran
islam, upacara Baayun Mulud dilaksanakan sebagai sarana atau media untuk
mengenalkan si anak kepada Datu Ujung,
yakni sesosok leluhur yang digambarkan sakti mandraguna dan memiliki penngaruh
yang sang sanggat besar. Orang banjar pada zaman dahulu meyakini bahwa
anak-anak mereka bisa memperoleh keberkahan dalam hidupnya, tidak mudah
menangis, dan terhindar dari segala
macam marabahaya. Untuk itu, pada zaman dahulu, setiap anak harus melalui
upacara Baayun Mulud sebagai tanda penghormatan dan sekaligus member
persembahan kepada datu ujung.[3]
Pada perkembangannya, penerapan upacara adat Baayun
Mulud berakulturasi dengan dakwah ajaran islam. Penghormatan yang sebelumnya
dipersembahkan kepada leluhur, setelah datangnya islam maka penghormatan
diselaraskan dan ditujukan kepada Nabi Muhammad. Upacara ini kemudian
disleraskan dengan ajaran islam, yakni agar si anak dapat mendapat sifat-sifat
baik seperti yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Akulturasi terhadap tradisi ini
terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan
sebelumnya, karena tradisi lama berubah menjadi tradisi baru yang bernafaskan
islam.[4]

Baayun Mulud adalah proses budaya yang menjadi
salah satu simbol kearifan dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki
ajaran agama dengan budaya masyarakat Banjar. Maulid adalah symbol agama dan
menjadi salah satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah
kecintaan sekaligus pembumian sesosok manusia pilihan, manusia teladan, Nabi
pembawa Islam, untuk mengikuti ajaran
dan petuahnya. Sedangkan Baayun Mulud menjadi penterjemah dari manifestasi
tersebut, karena dalam Baayun Mulud terangkum deskripsi biografi Nabi Muhammad
sekaligus doa, upaya, dan harapan untuk meneladaninya.[6]
Waktu dan
tempat pelaksanaan.

Seiring dengan berjalannya waktu, ritual adat
ini juga populer di kalangan masyarakat kebanyakan, khususnya orang Banjar yang
tinggal di daerah hulu sungai. Peruntukan upacara ini tidak lagi hanya bagi
anak lahir di bulan Safar tapi juga pada anak-anak Banjar yang dilahirkan pada
bulan-bulan lainnya.[7]
Dalam perkembangannya kemudian, tradisi Baayun
Mulud justru lebih dikenal dengan sebutan Baayun Mulud. Tradisi ini rutin
diselenggarakan setiap tahun, setiap tanggal 12 bulan Mulud atau Rabiul Awal
tahun Hijriyah (dalam penanggalan kalender Islam) untuk menyambut dan
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad (Maulid Nabi). Akan tetapi, jika
upacara Baayun Mulud dilaksanakan di luar tanggal tersebut juga diperbolehkan.
Upacara ini biasanya dimulai sekitar pukul 10.00 pagi.
Upacara Baayun Mulud dilakukan ketika anak
berusia 0-5 tahun. Namun biasanya, saat bayi berusia 40 hari, upacara ini sudah
diselenggarakan. Tempat pelaksanaan tradisi Baayun Mulud atau Baayun Mulud ini
ada yang diselenggarakan di rumah, namun bisa juga dilakukan di balai desa,
masjid, atau di tempat yang lapang secara massal.[8]
Peralatan dan
Bahan

a.
Ayunan (Baayun)
Ayunan dibuat dari tapih bahalai atau kain
sarung wanita yang pada ujungnya diikat dengan tali atau pengait. Ayunan ini
biasanya digantungkan pada penyangga ruangan tengah rumah. Pada tali tersebut
diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, dan katupat guntur, dengan
tujuan sebagai penangkal jin (mahluk halus) atau penyakit yang dapat mengganggu
bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk
dengan istilah dipukung.[9]
Kain ayunan ini terdiri atas tiga lapis.
Lapisan paling atas menggunakan kain sari gading atau sasirangan (kain tenun
khas Banjar). Pada zaman dahulu, kain sasirangan yang bisa digunakan untuk
ayunan dalam upacara Baayun Mulud harus bercorak tertentu, yakni motif
bahindang (pelangi). Sedangkan lapisan tengah menggunakan kain kuning (kain
belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan paling bawah
memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan).
b.
Hiasan Ayunan
Hiasan ayunan terdiri dari janur pohon nipah
atau pohon kelapa atau pohon enau. Jenis-jenis hiasan ayunan yang dipersiapkan
dalam pelaksanaan upacara adat Baayun Mulud antara lain berbentuk tangga
puteri, tangga pangeran, payung singgasana, patah kankung, kembang serai,
gelang-gelang atau rantai, dan lain sebagainya.
Hiasan lain yang biasanya ditambahkan dapat
berupa buah pisang, kue cucu, kue cincin, dan hiasan-hiasan lain. Selain itu,
pada tali ayunan juga diberi beraneka macam pernak-pernik hiasan, misalnya
anyaman janur hewan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, atau
hiasan-hiasan dengan mengunakan buah-buahan dan kue tradisional.[10]
c.
Piduduk

d.
Sesaji
Sesaji adalah perlengkapan atau syarat
upacara. Sesaji yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara adat Baayun Mulud
antara lain telur dan nasi lamak (lakatan) atau nasi ketan bersantan. Sesaji
disajikan di dalam piring yang diisi dengan susunan nasi lamak, kue apem, kue
cucur, inti kelapa, telur ayam rebus
(intallo rabus), papari, pisang, dan tape ketan. Sesaji lainnya dan piduduk
ditempatkan pada sebuah ember ukuran kecil, yakni berupa beras, buah kelapa
yang sudah dikupas kulitnya, sebungkus garam, dan gula merah.
Prosesi
Upacara
Setelah semua peralatan dan bahan tersedia,
maka prosesi upacara adat Baayun Mulud sudah siap untuk dilakukan. Pelaksanaan
upacara ini biasanya dilangsungkan pada pagi hari. Pertama-tama, ayunan
digantungkan di tempat upacara, yakni di ruangan bagian depan. Sebelumnya,
ayunan tersebut telah diisi dengan batu pipih sebagai pemberat.
Orang-orang yang hendak menyaksikan jalannya
upacara Baayun Mulud ini bisa siapa saja, termasuk warga dari lain kampung.
Bahkan, tidak jarang pula ada orang yang sudah tua ikut upacara ini karena
mereka merasa pada waktu kecil dulu tidak sempat melakukan Baayun Mulud. Para
hadirin upacara ini diatur tata letaknya, yaitu memadati bagian sisi ayunan.
Kaum laki-laki berjajar pada bagian depan ruang utama masjid atau rumah,
tepatnya di barisan depan jajaran ayunan. Sedangkan tamu perempuan berada di
sisi kiri-kanan dan belakang ayunan.
Sementara itu, semua syarat upacara diletakkan
di bawah ayunan. Demikian pula di setiap tiang utama masjid diletakkan piduduk
yang ditempatkan pada dua buah piring makan, yakni beras kuning dengan inti
kelapa yang diletakkan tepat di tengah-tengahnya.
Setelah semua siap, maka dimulailah acara
pembacaan Kitab Maulid Nabi. Naskah syair-syair yang dibacakan tergantung pada
keinginan bersama. Prosesi dimulai dengan pembacaan Syair Maulid yang dipimpin
oleh seorang Tuan Guru (ulama) dengan diiringi irama tetabuhan rebana.
Syair-syair Maulid yang umum dibawakan pada acara Baayun Mulud seperti syair
Maulud Barjanzi, Maulud Syaraf al-Anam, atau Maulud al-Diba’.[11]
Saat syair-syair itu dibacakan, tepatnya
ketika akan memasuki kalimat asyraqal, anak yang akan diayun dibawa ke tempat
upacara. Setelah batu pipih yang tadi diletakkan di dalam ayunan dikeluarkan,
maka barulah anak tersebut dimasukkan ke dalam ayunan. Pada saat yang sama,
yakni ketika memasuki kalimat asyraqal, semua hadirin berdiri sebagai bentuk
penghormatan kepada Nabi Muhammad karena saat-saat itulah dipercaya bahwa ruh
Nabi Muhammad hadir untuk menebar berkah bagi semua orang yang ada di situ.[12]
Sembari para hadirin berdiri, anak yang berada
di dalam ayunan itu mulai diayun-ayunkan secara perlahan-lahan, yakni dengan
menarik sehelai selendang yang sebelumnya telah dikaitkan pada pangkal ayunan.
Dalam tradisi urang Banjar, dikenal dua macam cara mengayun, yakni mengayun
biasa dan mengayun badundang. Mengayun biasa adalah mengayun dengan
mengayun-ayunka ayunan secara lepas, sedangkan mengayun badundang adalah
mengayun dengan cara memegang tali ayunan.
Ketika momen pembacaan kalimat asyraqal
berlangsung, ibu si anak yang sedang diayun itu turut khidmat dan ikut
melafalkan lantunan kalimat syair sambil mengangkat anaknya ke pangkuan. Pada
waktu yang bersamaan, Tuan Guru yang memimpin pembacaan syair berjalan ke arah
ibu si anak untuk memberikan tapung tawar kepada si anak.
Tapung tawar adalah tahap prosesi dalam
memberi berkat dengan mengusap jidat anak dan memercikannya dengan air khusus
yang biasanya disebut dengan air tutungkal. Air ini terdiri dari campuran air,
minyak buburih, dan rempah-rempah. Setelah selesai prosesi tapung tawar, para
hadirin duduk kembali. Pembacaan doa dilakukan dengan pengulangan sebanyak 7
(tujuh) kali. Setelah tapung tawar, ada sejumlah kalangan tertentu yang
melanjutkan upacara ini dengan prosesi naik turun tangga manisan tebu atau
acara batumbang, namun ada juga yang langsung ke acara penutup.
Prosesi upacara Baayun Mulud ditutup dengan
pembacaan doa yaitu doa Khatam al-Mawlud. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan
ayat-ayat suci Alquran dan diakhiri dengan ceramah yang disampaikan oleh
seorang ulama. Setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, maka tiba saatnya
bagi seluruh hadirin untuk menyantap makanan bersama-sama.
Nilai-nilai
Pelaksanaan upacara Baayun Mulud atau Baayun
Mulud, yang kemudian berpadu dengan kebudayaan Islam, mengandung nilai-nilai
sebagai berikut:
v Meneladani dan
mengambil berkah atas keluhuran dan kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad.
v Wujud nyata
kearifan lokal dalam menterjemahkan hadits dan perintah Nabi untuk menuntut
ilmu sejak dari buaian (ayunan). Ilmu yang dituntut adalah ilmu yang telah
dianjurkan oleh Nabi, yakni mencakup ilmu dunia dan ilmu akhirat.
v Dalam
pelaksanaan upacara ini terkandung harapan agar si anak yang diayun selalu
mendapat kebaikan dalam menempuh kehidupan yang selanjutnya.
v Sebagai bentuk
pelestarian tradisi leluhur namun dengan tetap menjaga nilai-nilai keislaman.
v Sebagai salah
satu upaya untuk mewariskan dan mengenalkan tradisi urang Banjar kepada
generasi muda penerus bangsa.
Selain itu, doa-doa dan berbagai perlengkapan
yang digunakan dalam upacara adat Baayun Mulud juga memuat nilai-nilai
tertentu. Misalnya, susunan bahan-bahan dalam piduduk, antara lain beras
dimaksudkan agar paras muka si anak menjadi lebih rupawan, kelapa dan gula
memuat maksud supaya tutur kata si anak menjadi halus dan senantiasa
berkata-kata manis (baik), garam dengan harapan agar pembawaan si anak menjadi
berwibawa, dan minyak goreng (bagi anak perempuan) ditujukan supaya si anak
menjadi orang yang peka terhadap sekitarnya.
Penutup
Upacara Baayun Mulud merupakan tradisi yang
mencerminkan transformasi atau perubahan budaya dari keyakinan lama
(kepercayaan kepada ajaran leluhur) ke kebudayaan yang dibawa oleh ajaran Islam
dan menjadi agama kemudian dianut oleh mayoritas urang Banjar. Namun, perubahan
budaya tersebut berlangsung dengan damai dengan tetap menghargai dan
mengakomodasi budaya lama yang sudah terlanjur menjadi pegangan hidup
masyarakatnya.
Baayun Mulud merupakan salah satu di antara
beberapa tradisi yang dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk menyampaikan
ajaran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan
hidup masyarakat setempat. Dakwah kultural memang menghendaki adanya kecerdikan
dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan
pesan-pesan yang terkandung dalam dakwah Islam. Jadi, bukan budaya yang
menyesuaikan Islam, tetapi Islamlah yang menyesuaikan dengan budaya. Inilah
arti Islam yang sebenarnya, Islam yang Rohmatallil ‘alamin, Islam tanpa memaksa
pemeluknya untuk meyakininya, tetapi berusaha meyakinkan pemeluknya dengan
segenap kelenturan dan kelembutan Nilai-nilainya.
Dengan demikian, upacara adat Baayun Mulud
sudah menjadi salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran agama.
Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar
dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan
anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, membaca
Alquran, dan silaturrahmi merupakan anjuran dan perintah agama Islam. Kedua
ritus ini secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan Baayun Mulud, yang bahkan
secara khusus dilaksanakan sebagai peringatan sekaligus penghormatan atas
kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Pada masa sekarang ini, tradisi Baayun Mulud
kerap diselenggarakan secara massal dan dijadikan agenda budaya tahunan khas
Kalimantan Selatan. Salah satunya seperti yang dihelat di Museum Lambung
Mangkurat, Kabupaten Banjarbaru, Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar Provinsi
Kalimantan Selatan, rutin setiap tahun sekali sebagai salah satu sarana untuk
menyebarluaskan informasi secara langsung dalam bentuk peragaan pagelaran adat
budaya yang Islami.
Sumber Referensi:
Hasil
wawancara pemakalah dengan seorang teman yang studi di UNLAM (Universitas
Lambung Mangkurat).
[1]Kehidupan orang Banjar mengenal beberapa jenis
upacara adat yang terhimpun dalam bingkai upacara daur hidup. Rangkaian upacara
daur hidup itu sendiri meliputi upacara kehamilan, kelahiran, masa kanak-kanak
menjelang dewasa, perkawinan, dan kematian. Upacara baayun mulut atau Baayun
Mulud termasuk kedalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa.
[2] Kaharingan merupakan kepercayaan asli suku
Dayak yang berasal dari kata haring artinya hidup. Menurut kepercayaan pemeluk
agama Kaharingan, Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu namun sejak
awal penciptaan, sejak Tuhan yang disebut Ranying Hatalla menciptakan manusia.
Ranying berarti Maha Tunggal, Maha Agung, Maha Mulia, Maha Jujur, Maha Lurus,
Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha
Kekal dan Maha Pendengar. Hatalla berarti Maha Pencipta. http://hintankaharingan.blogspot.com/2011/11/raja-bunu-manusia-pertama-persfektif.html
diunduh pada tanggal 17 desember 2013-12-18, pukul 23.00.
[3] Hasil wawancara pemakalah dengan seorang
teman yang studi di UNLAM (Universitas Lambung Mangkurat).
[4] http://zuljamalie.blogdetik.com Diunduh pada tanggal 18 Desember 2013 pukul
23.00.
[5] http://melayuonline.com
Diunduh pada tanggal 18 Desember 2013 pukul 23.00.
[6] Ibid.
[8] Ibid,
[9] Tumanggung Arga Sandipa Batangga Amas, dalam http://banuahujungtanah.wordpress.com.
Dipukung: dibedong diayunan, dengan ditali dengan erat dibagian lengan.
[10] http://kulaan.informe.com. kue yang tersaji biasanya terdiri dari 41
jenis, diantarannya: wajik, apam, kikicak, kalelapon, sarimuka, bingkai,
lamang, kerababan, wadai balapis, bingkai barandam, cucur, katupat balamak,
gaguduh, pais, gayam, bubur habang, bubur putih, onde-onde, jalabia atau
cakodok, agar-agar, cangkorak, dll.
[11] Amas, dalam http://banuahujungtanah.wordpress.com
[12] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar