Kamis, 23 Januari 2014

Baayun Mulud Upacara Adat Suku Banjar-Kalimantan Selatan



Baayun Mulud
Upacara Adat Suku Banjar-Kalimantan Selatan

Oleh:
Nurul Qomariyah
13020050
Program Studi Akhlak Tasawuf
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandan Aran

Pendahuluan
            Upacara Baayun mulud atau sering disebut juga dengan Istilah Baayun Mulud merupakan salah satu bagian dari rangkaian upacara adat yang di modifikasi dengan menggunakan metode akulturasi, dalam tradisi ini terjadi persilangan antara budaya Banjar dengan ajaran Islam, yaitu pengabungan antara budaya khas banjar “Baayun Mulud” dengan memasukan nilai-nilai religi “pelaksanaannya pada bulan maulud” sebagai tanda bahwa masyarakat bersyukur dan berharap bahwa anaknya bisa menerima berkah dan meneladani akhlak sang Nabi dari upacara.
            Pada awalnya, sebelum berakulturasi dengan islam, upacara ini bernama Baayun Mulud dan setelah budaya ini dimasuki oleh ajaran islam namanya berubah menjadi Baayun Mulud.
Tradisi ini masih ada hingga saat ini, Upacara atau tradisi suku banjar berlaku bagi warga masyarakat yang berdomisili di Kalimantan Selatan. Selain sebagai tradisi yang menjadi rangkaian dari upacara daur hidup urang (orang) Banua-Banjar,[1] Upacara Baayun Mulud juga dapat dijadikan sebagai sarana upacara tolak bala.
Asal-usul
            Masyarakat Suku Banjar yang mendiami daerah Kalimantan selatan dikenal sebagai kelompok suku bangsa yang berkehidupan relugius. Meskipun demikian, urang banjar juga memegang teguh tradisi dan adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang, terutama terlihat pada masyarakat yang hidup di pedalaman. Penerapan adat istiadat tersebut, misalnya terlihat pada tahapan siklus orang banjar yang dulu menganut ajaran kepercyaan Kaharingan[2] dengan pola hidup yang berdasarkan kepada ajaran nenek moyang.
            Seiring dengan masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam dalam dalam kehidupan orang banjar, maka terjadilah proses akulturasi antara ajaran yang dibawa oleh para penyebar agama Islam dengan kebudayaan local yang sudah ada sebelumnya, mewujud dalam penyelengaraan upacara Baayun Mulud.
            Upacara baayun mulud termasuk kedalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa. Upacara ini telah menjadi ritual wajib yang sudah menjadi tradisi jauh sebelum ajaran islam dianut oleh orang-orang suku banjar. Dulu, upacara ini sering dikenal dengan sebutan Baayun Mulud. Sejalan dengan masuknya islam, maka, kemudian upacara Baayun Mulud dipadukan dengan ajaran agama islam dan lantas disebut dengan istilah baayun mulud
            Sebelum berakulturasi dengan ajaran islam, upacara Baayun Mulud dilaksanakan sebagai sarana atau media untuk mengenalkan si anak kepada  Datu Ujung, yakni sesosok leluhur yang digambarkan sakti mandraguna dan memiliki penngaruh yang sang sanggat besar. Orang banjar pada zaman dahulu meyakini bahwa anak-anak mereka bisa memperoleh keberkahan dalam hidupnya, tidak mudah menangis,  dan terhindar dari segala macam marabahaya. Untuk itu, pada zaman dahulu, setiap anak harus melalui upacara Baayun Mulud sebagai tanda penghormatan dan sekaligus member persembahan kepada datu ujung.[3]
Pada perkembangannya, penerapan upacara adat Baayun Mulud berakulturasi dengan dakwah ajaran islam. Penghormatan yang sebelumnya dipersembahkan kepada leluhur, setelah datangnya islam maka penghormatan diselaraskan dan ditujukan kepada Nabi Muhammad. Upacara ini kemudian disleraskan dengan ajaran islam, yakni agar si anak dapat mendapat sifat-sifat baik seperti yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena tradisi lama berubah menjadi tradisi baru yang bernafaskan islam.[4]
Description: kjfjjhsjdfhj.jpgSelaras dengan itu, namanya pun berganti dari Baayun Mulud menjadi baayun mulud karena ritual adat ini diselengarakan pada setiap bulan mulud/rabi’ul awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad. Jika ditelusuri dari namanya, istilah “Baayun Mulud” terdiri dari dua kata, yaitu Baayun dan Mulud. Kata Baayun berarti melakukan aktivitas ayunan atau buaian, atau kegiatan mengayun bayi yang biasa dilakukan oleh seseorang untuk menidurkan anaknya. Sedangangkan kata Mulud, berasal dari bahasa Arab “Maulud”, merupakan ungkapan Arab untuk menyebut peristiwa kelahiran Nabi Muhammad. Dengan demikian, istilah Baayun Mulud memiliki arti sebagai berikut: “kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad, sang pembawa Rahmat bagi sekalian alam”.[5]
Baayun Mulud adalah proses budaya yang menjadi salah satu simbol kearifan dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki ajaran agama dengan budaya masyarakat Banjar. Maulid adalah symbol agama dan menjadi salah satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah kecintaan sekaligus pembumian sesosok manusia pilihan, manusia teladan, Nabi pembawa Islam, untuk mengikuti  ajaran dan petuahnya. Sedangkan Baayun Mulud menjadi penterjemah dari manifestasi tersebut, karena dalam Baayun Mulud terangkum deskripsi biografi Nabi Muhammad sekaligus doa, upaya, dan harapan untuk meneladaninya.[6]

Waktu dan tempat pelaksanaan.
Description: 1.jpgUpacara Baayun Mulud sebagai bagian tradisi dakwah Islam sebenarnya sudah dikenal masyarakat Banjar sejak Kesultanan Banjar resmi menjadi kerajaan Islam, yakni pada dekade kedua abad ke-14 Masehi. Pada awalnya, upacara ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga besar kerajaan yang lahir pada bulan Safar karena bulan ini dipercaya sebagai bulan yang penuh bala atau malapetaka. Oleh karena itu, untuk menghindari tertimpanya hal-hal yang tidak diinginkan pada anak, maka si anak wajib diayun sebagai bentuk ritual tolak bala.
Seiring dengan berjalannya waktu, ritual adat ini juga populer di kalangan masyarakat kebanyakan, khususnya orang Banjar yang tinggal di daerah hulu sungai. Peruntukan upacara ini tidak lagi hanya bagi anak lahir di bulan Safar tapi juga pada anak-anak Banjar yang dilahirkan pada bulan-bulan lainnya.[7]
Dalam perkembangannya kemudian, tradisi Baayun Mulud justru lebih dikenal dengan sebutan Baayun Mulud. Tradisi ini rutin diselenggarakan setiap tahun, setiap tanggal 12 bulan Mulud atau Rabiul Awal tahun Hijriyah (dalam penanggalan kalender Islam) untuk menyambut dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad (Maulid Nabi). Akan tetapi, jika upacara Baayun Mulud dilaksanakan di luar tanggal tersebut juga diperbolehkan. Upacara ini biasanya dimulai sekitar pukul 10.00 pagi.
Upacara Baayun Mulud dilakukan ketika anak berusia 0-5 tahun. Namun biasanya, saat bayi berusia 40 hari, upacara ini sudah diselenggarakan. Tempat pelaksanaan tradisi Baayun Mulud atau Baayun Mulud ini ada yang diselenggarakan di rumah, namun bisa juga dilakukan di balai desa, masjid, atau di tempat yang lapang secara massal.[8]
Peralatan dan Bahan
Description: 4.jpgPeralatan dan bahan-bahan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara adat Baayun Mulud antara lain sebagai berikut:
a.       Ayunan (Baayun)
Ayunan dibuat dari tapih bahalai atau kain sarung wanita yang pada ujungnya diikat dengan tali atau pengait. Ayunan ini biasanya digantungkan pada penyangga ruangan tengah rumah. Pada tali tersebut diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, dan katupat guntur, dengan tujuan sebagai penangkal jin (mahluk halus) atau penyakit yang dapat mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk dengan istilah dipukung.[9]
Kain ayunan ini terdiri atas tiga lapis. Lapisan paling atas menggunakan kain sari gading atau sasirangan (kain tenun khas Banjar). Pada zaman dahulu, kain sasirangan yang bisa digunakan untuk ayunan dalam upacara Baayun Mulud harus bercorak tertentu, yakni motif bahindang (pelangi). Sedangkan lapisan tengah menggunakan kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan paling bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan).
b.      Hiasan Ayunan
Hiasan ayunan terdiri dari janur pohon nipah atau pohon kelapa atau pohon enau. Jenis-jenis hiasan ayunan yang dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara adat Baayun Mulud antara lain berbentuk tangga puteri, tangga pangeran, payung singgasana, patah kankung, kembang serai, gelang-gelang atau rantai, dan lain sebagainya.
Hiasan lain yang biasanya ditambahkan dapat berupa buah pisang, kue cucu, kue cincin, dan hiasan-hiasan lain. Selain itu, pada tali ayunan juga diberi beraneka macam pernak-pernik hiasan, misalnya anyaman janur hewan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, atau hiasan-hiasan dengan mengunakan buah-buahan dan kue tradisional.[10]
c.       Piduduk
Description: saa.jpgPiduduk adalah syarat upacara yang berupa bahan-bahan mentah. Bahan-bahan yang termasuk dalam  piduduk antara lain 3,5 liter beras, 1 biji gula merah, sedikit garam (untuk anak laki-laki) atau sedikit garam ditambah dengan minyak goreng (untuk anak perempuan). Biasanya digunakan sebagai suguhan setelah upacara dilaksanakan.
d.      Sesaji
Sesaji adalah perlengkapan atau syarat upacara. Sesaji yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara adat Baayun Mulud antara lain telur dan nasi lamak (lakatan) atau nasi ketan bersantan. Sesaji disajikan di dalam piring yang diisi dengan susunan nasi lamak, kue apem, kue cucur, inti kelapa, telur ayam  rebus (intallo rabus), papari, pisang, dan tape ketan. Sesaji lainnya dan piduduk ditempatkan pada sebuah ember ukuran kecil, yakni berupa beras, buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya, sebungkus garam, dan gula merah.
Prosesi Upacara
Setelah semua peralatan dan bahan tersedia, maka prosesi upacara adat Baayun Mulud sudah siap untuk dilakukan. Pelaksanaan upacara ini biasanya dilangsungkan pada pagi hari. Pertama-tama, ayunan digantungkan di tempat upacara, yakni di ruangan bagian depan. Sebelumnya, ayunan tersebut telah diisi dengan batu pipih sebagai pemberat.
Orang-orang yang hendak menyaksikan jalannya upacara Baayun Mulud ini bisa siapa saja, termasuk warga dari lain kampung. Bahkan, tidak jarang pula ada orang yang sudah tua ikut upacara ini karena mereka merasa pada waktu kecil dulu tidak sempat melakukan Baayun Mulud. Para hadirin upacara ini diatur tata letaknya, yaitu memadati bagian sisi ayunan. Kaum laki-laki berjajar pada bagian depan ruang utama masjid atau rumah, tepatnya di barisan depan jajaran ayunan. Sedangkan tamu perempuan berada di sisi kiri-kanan dan belakang ayunan.
Sementara itu, semua syarat upacara diletakkan di bawah ayunan. Demikian pula di setiap tiang utama masjid diletakkan piduduk yang ditempatkan pada dua buah piring makan, yakni beras kuning dengan inti kelapa yang diletakkan tepat di tengah-tengahnya.
Setelah semua siap, maka dimulailah acara pembacaan Kitab Maulid Nabi. Naskah syair-syair yang dibacakan tergantung pada keinginan bersama. Prosesi dimulai dengan pembacaan Syair Maulid yang dipimpin oleh seorang Tuan Guru (ulama) dengan diiringi irama tetabuhan rebana. Syair-syair Maulid yang umum dibawakan pada acara Baayun Mulud seperti syair Maulud Barjanzi, Maulud Syaraf al-Anam, atau Maulud al-Diba’.[11]
Saat syair-syair itu dibacakan, tepatnya ketika akan memasuki kalimat asyraqal, anak yang akan diayun dibawa ke tempat upacara. Setelah batu pipih yang tadi diletakkan di dalam ayunan dikeluarkan, maka barulah anak tersebut dimasukkan ke dalam ayunan. Pada saat yang sama, yakni ketika memasuki kalimat asyraqal, semua hadirin berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad karena saat-saat itulah dipercaya bahwa ruh Nabi Muhammad hadir untuk menebar berkah bagi semua orang yang ada di situ.[12]
Sembari para hadirin berdiri, anak yang berada di dalam ayunan itu mulai diayun-ayunkan secara perlahan-lahan, yakni dengan menarik sehelai selendang yang sebelumnya telah dikaitkan pada pangkal ayunan. Dalam tradisi urang Banjar, dikenal dua macam cara mengayun, yakni mengayun biasa dan mengayun badundang. Mengayun biasa adalah mengayun dengan mengayun-ayunka ayunan secara lepas, sedangkan mengayun badundang adalah mengayun dengan cara memegang tali ayunan.
Ketika momen pembacaan kalimat asyraqal berlangsung, ibu si anak yang sedang diayun itu turut khidmat dan ikut melafalkan lantunan kalimat syair sambil mengangkat anaknya ke pangkuan. Pada waktu yang bersamaan, Tuan Guru yang memimpin pembacaan syair berjalan ke arah ibu si anak untuk memberikan tapung tawar kepada si anak.
Tapung tawar adalah tahap prosesi dalam memberi berkat dengan mengusap jidat anak dan memercikannya dengan air khusus yang biasanya disebut dengan air tutungkal. Air ini terdiri dari campuran air, minyak buburih, dan rempah-rempah. Setelah selesai prosesi tapung tawar, para hadirin duduk kembali. Pembacaan doa dilakukan dengan pengulangan sebanyak 7 (tujuh) kali. Setelah tapung tawar, ada sejumlah kalangan tertentu yang melanjutkan upacara ini dengan prosesi naik turun tangga manisan tebu atau acara batumbang, namun ada juga yang langsung ke acara penutup.
Prosesi upacara Baayun Mulud ditutup dengan pembacaan doa yaitu doa Khatam al-Mawlud. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran dan diakhiri dengan ceramah yang disampaikan oleh seorang ulama. Setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, maka tiba saatnya bagi seluruh hadirin untuk menyantap makanan bersama-sama.
Nilai-nilai
Pelaksanaan upacara Baayun Mulud atau Baayun Mulud, yang kemudian berpadu dengan kebudayaan Islam, mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
v  Meneladani dan mengambil berkah atas keluhuran dan kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad.
v  Wujud nyata kearifan lokal dalam menterjemahkan hadits dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu sejak dari buaian (ayunan). Ilmu yang dituntut adalah ilmu yang telah dianjurkan oleh Nabi, yakni mencakup ilmu dunia dan ilmu akhirat.
v  Dalam pelaksanaan upacara ini terkandung harapan agar si anak yang diayun selalu mendapat kebaikan dalam menempuh kehidupan yang selanjutnya.
v  Sebagai bentuk pelestarian tradisi leluhur namun dengan tetap menjaga nilai-nilai keislaman.
v  Sebagai salah satu upaya untuk mewariskan dan mengenalkan tradisi urang Banjar kepada generasi muda penerus bangsa.
Selain itu, doa-doa dan berbagai perlengkapan yang digunakan dalam upacara adat Baayun Mulud juga memuat nilai-nilai tertentu. Misalnya, susunan bahan-bahan dalam piduduk, antara lain beras dimaksudkan agar paras muka si anak menjadi lebih rupawan, kelapa dan gula memuat maksud supaya tutur kata si anak menjadi halus dan senantiasa berkata-kata manis (baik), garam dengan harapan agar pembawaan si anak menjadi berwibawa, dan minyak goreng (bagi anak perempuan) ditujukan supaya si anak menjadi orang yang peka terhadap sekitarnya.
Penutup
Upacara Baayun Mulud merupakan tradisi yang mencerminkan transformasi atau perubahan budaya dari keyakinan lama (kepercayaan kepada ajaran leluhur) ke kebudayaan yang dibawa oleh ajaran Islam dan menjadi agama kemudian dianut oleh mayoritas urang Banjar. Namun, perubahan budaya tersebut berlangsung dengan damai dengan tetap menghargai dan mengakomodasi budaya lama yang sudah terlanjur menjadi pegangan hidup masyarakatnya.
Baayun Mulud merupakan salah satu di antara beberapa tradisi yang dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk menyampaikan ajaran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat. Dakwah kultural memang menghendaki adanya kecerdikan dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan yang terkandung dalam dakwah Islam. Jadi, bukan budaya yang menyesuaikan Islam, tetapi Islamlah yang menyesuaikan dengan budaya. Inilah arti Islam yang sebenarnya, Islam yang Rohmatallil ‘alamin, Islam tanpa memaksa pemeluknya untuk meyakininya, tetapi berusaha meyakinkan pemeluknya dengan segenap kelenturan dan kelembutan Nilai-nilainya.
Dengan demikian, upacara adat Baayun Mulud sudah menjadi salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran agama. Mengayun anak, jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dan Dayak secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, membaca Alquran, dan silaturrahmi merupakan anjuran dan perintah agama Islam. Kedua ritus ini secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan Baayun Mulud, yang bahkan secara khusus dilaksanakan sebagai peringatan sekaligus penghormatan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Pada masa sekarang ini, tradisi Baayun Mulud kerap diselenggarakan secara massal dan dijadikan agenda budaya tahunan khas Kalimantan Selatan. Salah satunya seperti yang dihelat di Museum Lambung Mangkurat, Kabupaten Banjarbaru, Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, rutin setiap tahun sekali sebagai salah satu sarana untuk menyebarluaskan informasi secara langsung dalam bentuk peragaan pagelaran adat budaya yang Islami.

Sumber Referensi:
Hasil wawancara pemakalah dengan seorang teman yang studi di UNLAM (Universitas Lambung Mangkurat).


[1]Kehidupan orang Banjar mengenal beberapa jenis upacara adat yang terhimpun dalam bingkai upacara daur hidup. Rangkaian upacara daur hidup itu sendiri meliputi upacara kehamilan, kelahiran, masa kanak-kanak menjelang dewasa, perkawinan, dan kematian. Upacara baayun mulut atau Baayun Mulud termasuk kedalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa.
[2] Kaharingan merupakan kepercayaan asli suku Dayak yang berasal dari kata haring artinya hidup. Menurut kepercayaan pemeluk agama Kaharingan, Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu namun sejak awal penciptaan, sejak Tuhan yang disebut Ranying Hatalla menciptakan manusia. Ranying berarti Maha Tunggal, Maha Agung, Maha Mulia, Maha Jujur, Maha Lurus, Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Kekal dan Maha Pendengar. Hatalla berarti Maha Pencipta. http://hintankaharingan.blogspot.com/2011/11/raja-bunu-manusia-pertama-persfektif.html diunduh pada tanggal 17 desember 2013-12-18, pukul 23.00.
[3] Hasil wawancara pemakalah dengan seorang teman yang studi di UNLAM (Universitas Lambung Mangkurat).
[4] http://zuljamalie.blogdetik.com  Diunduh pada tanggal 18 Desember 2013 pukul 23.00.
[5] http://melayuonline.com Diunduh pada tanggal 18 Desember 2013 pukul 23.00.
[6] Ibid.
[8] Ibid,
[9] Tumanggung Arga Sandipa Batangga Amas, dalam http://banuahujungtanah.wordpress.com. Dipukung: dibedong diayunan, dengan ditali dengan erat dibagian lengan.
[10] http://kulaan.informe.com.  kue yang tersaji biasanya terdiri dari 41 jenis, diantarannya: wajik, apam, kikicak, kalelapon, sarimuka, bingkai, lamang, kerababan, wadai balapis, bingkai barandam, cucur, katupat balamak, gaguduh, pais, gayam, bubur habang, bubur putih, onde-onde, jalabia atau cakodok, agar-agar, cangkorak, dll.
[12] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar