Kamis, 23 Januari 2014

merti dusun



Upacara Merti  Dusun di Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul
Oleh
Fajar Chusnadi (12020009)
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Yogyakarta
2013

Latar Belakang
Indonesia dulu terkenal dengan budaya guyub-nya. Satu rasa satu sama. Saat ini seiring dengan arus perubahan zaman yang disertai pergeseran tata nilai, struktur sosial masyarakat berubah dari masyarakat paguyuban menjadi patembayan. Masyarakat desa saat ini diidentikan dengan struktur paguyuban sedangkan masyarakat kota sama dengan patembayan. Dengan adanya perubahan tata nilai, maka ada pula tradisi-tradisi yang berubah. Orang Jawa pada umumnya, termasuk orang Desa Dlingo setiap kali selesai melakukan panen raya selalu mengadakan upacara yang disebut Merti Desa[1].
 Merti Desa atau bersih desa merupakan sebuah wujud kearifan lokal yang sempat terombang-ambing di tengah arus perubahan nilai termasuk dengan derasnya nilai  budaya asing yang masuk ke negeri kita.[2] Kini semangat yang terkandung di dalam Merti Desa sepatutnya direvitalisasi dalam sebuah momen yang menggugah rasa kebersamaan masyarakat, khususnya di perkotaan, untuk sejenak melepaskan kesibukan kerja dan kembali menjalin komunikasi dengan tetangga atau masyarakat di lingkungan sekitar.
            Pemprov Yogyakarta saat ini kembali menggalakkan perayaan Merti Desa di kalangan masyarakat.[3] Merti Desa atau bersih desa pada hakikatnya merupakan sebuah kegiatan yang menjadi simbol rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas segala karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berupa apa saja seperti rezeki, keselamatan atau juga kesalarasan dan ketentraman. Lebih dari itu, merti desa juga merupakan sebuah wadah di mana para penduduk bisa membina tali silaturahmi, saling menghormati, serta saling tepa selira. Seperti diketahui bersama bahwa ketiga hal tersebut sudah mulai jarang terkespresikan di dalam masyarakat. Padahal terlepas dari berbagai kemudahan teknologi yang bisa mempermudah tali silaturahmi misalnya, sebagai makhluk sosial sejatinya kita perlu berinterksi dan bertemu langsung dengan masyarakat lainnya.
Selain sebagai manifestasi rasa syukur kepada Yang Maha Esa, Merti Desa juga merupakan sebuah perwujudan keselarasan manusia dengan alam.
 Selama hidupnya manusia telah hidup berdampingan dengan alam dan mengambil banyak materi dari alam. Namun demikian, pemanfaatan itu tidak boleh terlepas dari tata cara sehingga bisa menimbulkan eksploitasi berlebihan terhadap alam. Padahal dalam hakikatnya manusia dan alam saling melengkapi. Jika dalam panen raya, masyarakat mendapatkan hasil yang banyak hal itu tentu saja tidak terlepas dari tata cara pengolahan alam yang baik.

Sejarah Munculnya Tradisi Merti Dusun
            Indonesia Negara yang kaya akan budaya dan adat, pada masa lalu dibagian bumi sebelah selatan, tepatnya di wilayah Bantul yang dulu masih berbentuk kadipaten, disana ada sebuah tradisi luhur warisan dari nenek moyangdengan nama “merti dusun”. Pada perkembangannya setelah kerajaan Hindu dan Budha mulai runtuh dan kawasan nusantara berganti dengan merebaknya kerajaan-kerajaan Islam, budaya warisan tersebut mulai di akulturasikan dengan niali Islami, banyak tokoh yang sudah melakukan hal ini.[4]
            Sultan Agung, adalah seorang salah satu raja Mataram yang bias dikatakan berjasa dalam  melakukan modifikasi terhadap budaya ini, pada masa pemerintahannya beliau secara langsung turun kelapangan guna memberitahukan atau lebih tepatnya bertitah agar budaya ini dijadikan budaya yang harus dilestarikan sejagad mataram pada saat itu, namun ada hal lain dibalik itu, yaitu dengan dimasukannya nilai islami lewat para “pelaku” utama perhelatan tradisi merti dusun ini.[5]

Upacara Merti Dusun
Upacara merti dusun atau bersih desa merupakan sebuah fenomena yang terjadi ditengah masyarakat, dan mungkin fenomena ini tidak terjadi dalam satu daerah saja, melainkan ada kesamaan dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang merupakan Negara dengan beribu kebudayaan dan ragamnya.
Upacara merti dusun di Kecamatan Dlingo ini dilakukan setelah selesai panen raya, yaitu waktu panen bagi semua petani palawija dan sebagainya pada saat itu. Fenomena ini atau kalau saya bahasakan sudah menjadi sebuah tradisi atau kebudayaan ini dilakukan setahun sekali, runtutan acaranya sebagai berikut, jika masa panen sudah tiba, maka disana akan diadakan perkumpulan yang mana akan dibahas mengenai acara tahunan itu.[6]
a.       (Warga sedang menyiapkan makanan umum), b. (gunungan untuk acara puncak).
Selanjutnya diperkumpulan itu akan dimusyawarahkan bagaimana baiknya dan seyogyanya upacara tahunan ini benar-benar menjadi pesta rakyat. Pada perkumpulan itu dihadiri oleh kepala dusun dari setiap desa dan para sesepuhya, perlu diketahui upacara merti dusun ini dilakukan se-kecamatan jadi ini merupakan event yang didukung oleh semua desa se-kecamatan Dlingo.
Upacara merti dusun ini dilangsungkan selama dua hari, hari pertama itu diadakan istighosah atau mujahadah akbar se-kecamatan, acara hari pertama ini dilakukan malam hari, selanjutnya disambung keesokan harinya yaitu lomba bersih desa.
Seusai lomba bersih desa maka acara akan dipusatkan di kecamatan. Yang mana disana sudah ada pagelaran seni dari berbagai desa di kecamatan Dlingo, seperti jathilan, reog, rodatan dan sebagainya. Sekaligus, nanti pada akhir acara sebelum acara puncak pemenang lomba bersih desa sudah akan diumumkan oleh Bapak camat.[7]
c.(kesenian jathilan),                                                                               d.(gunungan saat diperebutkan)
Menginjak acara yang terakhir, yaitu selepas ashar maka gunungan akan dibawa dari pendopo kecamatan menuju halaman guna di arak dan diperebutkan oleh semua warga yang ikut memeriahkan acara tahunan tersebut.

Makna dibalik Upacara Merti Dusun
Banyak sekali makna yang terkandung dalam upacara ini, sudah dari paragraph diatas paling awal diterangkan bahwa upacara tahunan ini merupakan sebuah wujud syukur kepada tuhan atas segala apa yang diberi di dunia, yaitu berupa rezeki, umur, dan  alam sebagai sumber kehidupan.[8]
Selanjutnya jika dilihat dari segi social kemasyarakatan, maka event semacam ini bisa saling mengeratkan rasa kesatuan diantara warga se-kecamatan Dlingo. Dari segi ekonomi event semacam ini juga bias menghasilakan nilai rupiah, dengan menarik perhatian para wisatawan, ada lagi dari sisi kebudayaan, hal seperti ini jelas bias nguri-nguri kebudayaan nenek moyang.
Dari kesemuanya sebenarnya atau intinya pada upacara merti dusun ini ditujukan untuk rakyat atau semua warga agar dalam dirinya tumbuh rasa saling memiliki dan menjaga lingkungan dan alam, serta menghargai sesama dalam kehidupan di dunia, serta mengajak pada kebaikan dengan menyelipkan nilai Islami dalam event tahunan ini.

Kesimpulan
Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan berbagai ragam budaya dan adatnya juga merupakan Negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia, budaya yang begitu beragam sudah ada jauh sebelum Islam ke negeri ini, benturan antara agama dan budaya mungkin terjadi, tetapi para ulama nusantara bias melakukan sinkronisasi antara keduanya, sehingga ajaran agama dapat bersanding dengan budaya tanpa ada distorsi antara agama dan kebudayaan di Indonesia.
Islam dan budaya local sampai saat ini bias kita lihat dan nikmati juga tidak lepas dari islam itu sendiri sebagai agama bagi semua umat, islam itu tidak harus identik dengan yang ada di Timur Tengah. Islam Indonesia itu adalah islamnya kita, yang mempunyai nilai “khas” yang tidak ada yang menyamai, jika kita hanya memahami agama secara tekstual saja maka Islam tidak akan bias masuk ke Negeri ini.
Kebudayaan atau adat seperti upacara merti dusun diatas juga merupakan singkronisasi antara agama dan budaya, merti dusun yang dulu merupakan kebiasaan yang dilakukan nenek moyang akhirnya bertransformasi dengan adanya nialu ke-Islaman yang dimasukan kedalamnya tanpa merusak nilai budaya yang ada di situ.






























Daftar Pustaka
Muhammad Bajuri, Tokoh Masyarakat Desa Dlingo, 2/11/13.
Ibnu Ismail, Islam Tradisi: Studi Komparatif Budaya Jawa dengan Tradisi Islam, Kediri: Tetes Publishing.
http//.pemkotbantul.com, diakses, 18/12/13.
Sejarah Sasonoloyo Hinggil Pajimatan, TT.
H.Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Toha Putra.



[1] Muhammad Bajuri, Tokoh Masyarakat Desa Dlingo, 2/11/13.
[2] Ibnu Ismail, Islam Tradisi: Studi Komparatif Budaya Jawa dengan Tradisi Islam, Kediri: Tetes Publishing, hal. 8.
[3] http//.pemkotbantul.com, diakses, 18/12/13.
[4] Sejarah Sasonoloyo Hinggil Pajimatan, TT, hal. 3.
[5] Ibid., hal. 4.
[6] Wawancara Langsung Tokoh Masyarakat Setempat.
[7] Berdasarkan Pengalaman Penulis sendiri, pada perayaan merti dusun bulan syawwal kemarin.
[8] H.Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Toha Putra, hal. 92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar