Upacara Merti Dusun di Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul
Oleh
Fajar Chusnadi (12020009)
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Yogyakarta
2013
Latar Belakang
Indonesia dulu terkenal dengan budaya guyub-nya.
Satu rasa satu sama. Saat ini seiring dengan arus perubahan zaman yang disertai
pergeseran tata nilai, struktur sosial masyarakat berubah dari masyarakat
paguyuban menjadi patembayan. Masyarakat desa saat ini diidentikan
dengan struktur paguyuban sedangkan masyarakat kota sama dengan patembayan.
Dengan adanya perubahan
tata nilai, maka ada pula tradisi-tradisi yang berubah. Orang Jawa pada
umumnya, termasuk orang Desa Dlingo setiap kali selesai melakukan panen raya
selalu mengadakan upacara yang disebut Merti Desa[1].
Merti Desa atau bersih desa merupakan sebuah
wujud kearifan lokal yang sempat terombang-ambing di tengah arus perubahan
nilai termasuk dengan derasnya nilai budaya asing yang masuk ke negeri kita.[2]
Kini semangat yang terkandung di dalam Merti Desa sepatutnya direvitalisasi
dalam sebuah momen yang menggugah rasa kebersamaan masyarakat, khususnya di
perkotaan, untuk sejenak melepaskan kesibukan kerja dan kembali menjalin
komunikasi dengan tetangga atau masyarakat di lingkungan sekitar.
Pemprov Yogyakarta saat ini kembali
menggalakkan perayaan Merti Desa di kalangan masyarakat.[3] Merti Desa atau bersih desa
pada hakikatnya merupakan sebuah kegiatan yang menjadi simbol rasa syukur
masyarakat kepada Tuhan atas segala karunia yang diberikan-Nya. Karunia
tersebut bisa berupa apa saja seperti rezeki, keselamatan atau juga kesalarasan
dan ketentraman. Lebih dari itu, merti desa juga merupakan sebuah wadah di mana
para penduduk bisa membina tali silaturahmi, saling menghormati, serta saling
tepa selira. Seperti diketahui bersama bahwa ketiga hal tersebut sudah mulai
jarang terkespresikan di dalam masyarakat. Padahal terlepas dari berbagai
kemudahan teknologi yang bisa mempermudah tali silaturahmi misalnya, sebagai
makhluk sosial sejatinya kita perlu berinterksi dan bertemu langsung dengan
masyarakat lainnya.
Selain sebagai
manifestasi rasa syukur kepada Yang Maha Esa, Merti Desa juga merupakan sebuah
perwujudan keselarasan manusia dengan alam.
Selama hidupnya manusia telah hidup
berdampingan dengan alam dan mengambil banyak materi dari alam. Namun demikian,
pemanfaatan itu tidak boleh terlepas dari tata cara sehingga bisa menimbulkan
eksploitasi berlebihan terhadap alam. Padahal dalam hakikatnya manusia dan alam
saling melengkapi. Jika dalam panen raya, masyarakat mendapatkan hasil yang
banyak hal itu tentu saja tidak terlepas dari tata cara pengolahan alam yang
baik.
Sejarah
Munculnya Tradisi Merti Dusun
Indonesia
Negara yang kaya akan budaya dan adat, pada masa lalu dibagian bumi sebelah
selatan, tepatnya di wilayah Bantul yang dulu masih berbentuk kadipaten, disana
ada sebuah tradisi luhur warisan dari nenek moyangdengan nama “merti dusun”.
Pada perkembangannya setelah kerajaan Hindu dan Budha mulai runtuh dan kawasan
nusantara berganti dengan merebaknya kerajaan-kerajaan Islam, budaya warisan
tersebut mulai di akulturasikan dengan niali Islami, banyak tokoh yang sudah
melakukan hal ini.[4]
Sultan
Agung, adalah seorang salah satu raja Mataram yang bias dikatakan berjasa dalam melakukan modifikasi terhadap budaya ini,
pada masa pemerintahannya beliau secara langsung turun kelapangan guna
memberitahukan atau lebih tepatnya bertitah agar budaya ini dijadikan budaya
yang harus dilestarikan sejagad mataram pada saat itu, namun ada hal lain
dibalik itu, yaitu dengan dimasukannya nilai islami lewat para “pelaku” utama
perhelatan tradisi merti dusun ini.[5]
Upacara
Merti Dusun
Upacara merti
dusun atau bersih desa merupakan sebuah fenomena yang terjadi ditengah
masyarakat, dan mungkin fenomena ini tidak terjadi dalam satu daerah saja,
melainkan ada kesamaan dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang merupakan
Negara dengan beribu kebudayaan dan ragamnya.
Upacara merti
dusun di Kecamatan Dlingo ini dilakukan setelah selesai panen raya, yaitu waktu
panen bagi semua petani palawija dan
sebagainya pada saat itu. Fenomena ini atau kalau saya bahasakan sudah menjadi
sebuah tradisi atau kebudayaan ini dilakukan setahun sekali, runtutan acaranya
sebagai berikut, jika masa panen sudah tiba, maka disana akan diadakan
perkumpulan yang mana akan dibahas mengenai acara tahunan itu.[6]


a.
(Warga
sedang menyiapkan makanan umum), b. (gunungan untuk acara puncak).
Selanjutnya
diperkumpulan itu akan dimusyawarahkan bagaimana baiknya dan seyogyanya upacara
tahunan ini benar-benar menjadi pesta rakyat. Pada perkumpulan itu dihadiri
oleh kepala dusun dari setiap desa dan para sesepuhya, perlu diketahui upacara
merti dusun ini dilakukan se-kecamatan jadi ini merupakan event yang didukung oleh semua desa se-kecamatan Dlingo.
Upacara merti
dusun ini dilangsungkan selama dua hari, hari pertama itu diadakan istighosah
atau mujahadah akbar se-kecamatan, acara hari pertama ini dilakukan malam hari,
selanjutnya disambung keesokan harinya yaitu lomba bersih desa.
Seusai lomba
bersih desa maka acara akan dipusatkan di kecamatan. Yang mana disana sudah ada
pagelaran seni dari berbagai desa di kecamatan Dlingo, seperti jathilan, reog,
rodatan dan sebagainya. Sekaligus, nanti pada akhir acara sebelum acara puncak
pemenang lomba bersih desa sudah akan diumumkan oleh Bapak camat.[7]


c.(kesenian jathilan), d.(gunungan
saat diperebutkan)
Menginjak acara
yang terakhir, yaitu selepas ashar maka gunungan akan dibawa dari pendopo
kecamatan menuju halaman guna di arak dan diperebutkan oleh semua warga yang
ikut memeriahkan acara tahunan tersebut.
Makna
dibalik Upacara Merti Dusun
Banyak sekali
makna yang terkandung dalam upacara ini, sudah dari paragraph diatas paling
awal diterangkan bahwa upacara tahunan ini merupakan sebuah wujud syukur kepada
tuhan atas segala apa yang diberi di dunia, yaitu berupa rezeki, umur, dan alam sebagai sumber kehidupan.[8]
Selanjutnya jika
dilihat dari segi social kemasyarakatan, maka event semacam ini bisa saling
mengeratkan rasa kesatuan diantara warga se-kecamatan Dlingo. Dari segi ekonomi
event semacam ini juga bias menghasilakan nilai rupiah, dengan menarik
perhatian para wisatawan, ada lagi dari sisi kebudayaan, hal seperti ini jelas
bias nguri-nguri kebudayaan nenek moyang.
Dari kesemuanya
sebenarnya atau intinya pada upacara merti dusun ini ditujukan untuk rakyat
atau semua warga agar dalam dirinya tumbuh rasa saling memiliki dan menjaga
lingkungan dan alam, serta menghargai sesama dalam kehidupan di dunia, serta
mengajak pada kebaikan dengan menyelipkan nilai Islami dalam event tahunan ini.
Kesimpulan
Indonesia sebagai
Negara kepulauan dengan berbagai ragam budaya dan adatnya juga merupakan Negara
dengan pemeluk Islam terbesar di dunia, budaya yang begitu beragam sudah ada
jauh sebelum Islam ke negeri ini, benturan antara agama dan budaya mungkin
terjadi, tetapi para ulama nusantara bias melakukan sinkronisasi antara
keduanya, sehingga ajaran agama dapat bersanding dengan budaya tanpa ada
distorsi antara agama dan kebudayaan di Indonesia.
Islam dan budaya
local sampai saat ini bias kita lihat dan nikmati juga tidak lepas dari islam
itu sendiri sebagai agama bagi semua umat, islam itu tidak harus identik dengan
yang ada di Timur Tengah. Islam Indonesia itu adalah islamnya kita, yang
mempunyai nilai “khas” yang tidak ada yang menyamai, jika kita hanya memahami
agama secara tekstual saja maka Islam tidak akan bias masuk ke Negeri ini.
Kebudayaan atau
adat seperti upacara merti dusun diatas juga merupakan singkronisasi antara
agama dan budaya, merti dusun yang dulu merupakan kebiasaan yang dilakukan
nenek moyang akhirnya bertransformasi dengan adanya nialu ke-Islaman yang
dimasukan kedalamnya tanpa merusak nilai budaya yang ada di situ.
Daftar Pustaka
Muhammad
Bajuri, Tokoh Masyarakat Desa Dlingo, 2/11/13.
Ibnu Ismail, Islam Tradisi: Studi Komparatif Budaya Jawa dengan Tradisi Islam,
Kediri: Tetes Publishing.
http//.pemkotbantul.com,
diakses, 18/12/13.
Sejarah Sasonoloyo Hinggil Pajimatan,
TT.
H.Murodi,
Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Toha Putra.
[1]
Muhammad Bajuri, Tokoh Masyarakat Desa Dlingo, 2/11/13.
[2]
Ibnu Ismail, Islam Tradisi: Studi
Komparatif Budaya Jawa dengan Tradisi Islam, Kediri: Tetes Publishing, hal.
8.
[3]
http//.pemkotbantul.com, diakses, 18/12/13.
[4]
Sejarah Sasonoloyo Hinggil Pajimatan, TT, hal. 3.
[5]
Ibid., hal. 4.
[6]
Wawancara Langsung Tokoh Masyarakat Setempat.
[7]
Berdasarkan Pengalaman Penulis sendiri, pada perayaan merti dusun bulan syawwal
kemarin.
[8]
H.Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Toha Putra, hal. 92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar